My Writing Journey

By Anna - May 07, 2020

Dari kecil saya suka membaca. Favorit saya adalah buku-buku ensiklopedia terutama tema biologi, dan fabel dengan pesan dan nasehat bijak. Saat saya masih duduk di sekolah dasar, saya hampir dibully karena lebih suka menyendiri di pojokan perpustakaan daripada bermain gobak sodor bersama teman-teman. Saya kurang suka kegiatan di luar ruangan  karena panas, bukan karena tidak mau bersosialisasi. Di samping itu, perpustakaan di sekolah saya sudah seperti ruangan penuh dengan harta karun bagi saya. Sayang sekali perpustakaan itu jarang sekali dibuka. Satu-satunya pembawa kunci ruang keramat tersebut adalah pak Mat, bapak tukang kebun yang bertugas membersihkan pekarangan sekolah. Entah mengapa pak Mat jarang sekali membuka perpustakaan, bisa jadi beliau takut anak-anak bengal akan mengacak-acak rak buku dan membuat pekerjaannya menjadi dobel. Mungkin karena minat saya yang besar akan buku dan minimnya akses ke perpustakaan, saat SD saya pernah bercita-cita menjadi seorang pustakawan.

Saat SMP, kecintaan saya terhadap buku dan perpustakaan semakin berkembang. Jam istirahat hampir setiap hari saya habiskan di perpustakaan untuk membaca. Perpustakaan sudah menjadi penghibur dan pelipur lara bagi perut saya yang kadang keroncongan. Disamping itu saya memilih untuk tidak membelanjakan uang saku saya demi untuk menyewa novel lima sekawan di perpustakaan swasta. 

Perpustakaan di SMP ini buka setiap hari, dan selalu ada buku-buku baru. Selain koleksi bukunya yang banyak dan beragam, koran harian Jawa Pos juga selalu tersedia, meskipun saya selalu dapat giliran baca saat beritanya sudah kadaluarsa, edisi 3hari bahkan seminggu yang lalu, dan kondisi koran sudah kumal, bolong dan bahkan robek. Koran terbaru selalu dijajah para guru, lalu pustakawan, baru ke murid. Bagian koran seringkali bolong karena saat itu sering ada tugas kliping. Ini adalah hal ilegal, tentu saja. Kalau ketahuan pak penjaga perpus, murid yang bersangkutan bisa habis diomeli dan bahkan dihukum dan didenda karena merusak properti sekolah.

Saat SMA, saya semakin menyukai perpustakaan dan bau khas buku-bukunya. Dari sanalah, saya berkenalan dengan karya-karya Umar Kayyam, Budi Dharma, Ahmad Tohari, dan banyak lagi karya sastrawan besar lainnya. Selain buku, saya juga menggemari majalah sastra Horison. 

Mungkin karena banyak membaca, lama-kelamaan saya mencoba menulis. Sejak saat itu, saya merasa passion di bidang kepenulisan tumbuh sedikit demi sedikit dalam diri saya. Saya semakin banyak menulis, dan tak disangka cerpen pertama saya terpilih menjadi juara favorit di festival bulan bahasa tingkat kabupaten.

Lulus SMA, saya semakin terobsesi akan dunia tulisan. Di sela-sela kesibukan saya bekerja, saya menulis novel pertama saya. Temanya mengenai drama percintaan yang tidak terungkapkan. Tokohnya mengambil sudut pandang orang pertama, jadi  tokoh utamanya adalah aku. Novel tersebut saya tulis di buku tulis sinar dunia, tulisan tangan. Saya bermimpi suatu hari saya kan mengetik ulang novel itu lalu saya kirimkan ke penerbit. Suatu hari pacar saya menemukan buku itu, membaca ceritanya dan marah besar karena cemburu. Buku saya dirobek dan dibakar di depan mata saya tanpa saya memiliki kesempatan untuk menjelaskan. Saya sungguh patah hati dan kecewa. Saya lalu memutuskan pacar saya itu , dia masih marah dan masih saja menuduh saya berselingkuh. Betapa hinanya. Saya sudah mencoba untuk menulis ulang novel tersebut tapi tidak mendapatkan feel yang sama seperti saat pertama saya menulisnya. Saya menyerah.

Tak disangka, takdir Tuhan membawa saya ke dunia perhotelan. Saya menemukan banyak pengalaman menarik yang selalu saya catat. Saya lalu memberanikan diri untuk mengirim karya saya ke penerbit Bentang Pustaka, karena penulis Favorit saya Andrea Hirata dan Trinity menerbitkan bukunya di Bentang. Tak diduga, lamaran saya diterima. B first anak perusahaan Bentang lalu menerbitkan buku pertama saya, Hotelicious.


Hotelicious memang tidak terlalu populer, penerbitannya hanya mentok di cetakan pertama, dan total royalti yang saya dapatkan kurang dari 5 juta. Tapi saya sudah menduganya sejak awal. Topik di dalamnya sangat spesifik, yaitu dunia perhotelan dimana menurut saya pasar buku ini sangat terbatas untuk kalangan tertentu saja. Tapi justru itu yang menjadikannya sangat eksklusif. Saya masih bangga, setidaknya buku sejenis hotelicious belum ada di pasaran Indonesia. Dari begitu banyaknya pekerja hotel, saya rasa masih sangat jarang yang mau menuliskan pengalamannya bekerja di hotel, apalagi dijadikan buku. Di luar negeri ada buku berjudul Hotel Tales, tapi menurut saya isinya lumayan serius dan topik yang diangkat sedikit berat. Plus, berbahasa Inggris pula. 

Saya semakin semangat menulis, dan mulai mencoba menulis catatan perjalanan untuk koran Jawa Pos, di rubrik For Her. Untuk pertama kalinya, foto saya terpampang besar di majalah dinding hotel dimana dulu saya bekerja (saya sudah pindah ke Bali saat itu). Teman-teman saya di Surabaya berbondong-bondong memberitahu saya bahwa bahwa saya masuk koran. 


Setahun setelah Hotelicious terbit, saya mudik ke kampung halaman sekaligus ingin mengunjungi guru Bahasa Indonesia saya. Tak disangka saya malah disambut meriah dan Bapak Guru menyiapkan panggung untuk saya, meminta saya menjadi pembicara untuk menyemangati adik-adik kelas saya untuk berani menulis. Di akhir acara beliau menyerahkan sebuah tabloid sekolah, yang di dalamnya membahas buku-buku dan karya saya. Saya bangga sekali!

Sampai sekarang, saya masih menulis. Saya sempat kebingungan mau menulis apa, sejak saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja di hotel karena saya memiliki bayi. Ternyata saya malah aktif di forum menulis lain, yaitu menulis resep di Cookpad. Jeda yang lumayan panjang itu ternyata terisi dengan hal lain yang masih berhubungan dengan dunia penulisan, secara teknis. Belakangan, saya berambisi untuk menghidupkan kembali semangat saya melalui blog ini. Tentang apa saja. Saya tidak peduli kalaupun tidak ada yang membaca. Yang saya tahu, setelah berhasil menulis satu halaman, saya menjadi lega. 

*A page a day, a book on it’s way. (Chinese proverb)





  • Share:

You Might Also Like

0 komentar