Salah
satu negara di Asia tenggara yang dari dulu ingin sekali saya singgahi adalah
Singapura. Secara saya penasaran, bagaimana negara semungil itu bisa lebih maju
daripada negara kita yang notabene lebih besar dan jauh lebih melimpah kekayaan
alamnya. Selain karena alasan itu, saya juga penasaran seperti apa hotel-hotel
yang ada di sana, sekalian melakukan kebiasaan norak saya kalau lagi jalan ke
luar, yaitu membandingkan harga dengan negara sendiri untuk mengukur taraf
hidup.
Beruntungnya
saya memiliki teman tajir yang baik hati yang bulan april lalu membawa saya ke
negara mini ini. Karena lama tinggal di Australia yang notabene cost of
livingnya lebih tinggi, saya kira dia tidak akan kaget kalau nanti di Singapore
harganya selangit. Eh, nyatanya sebelum berangkat dia agak-agak khawatir juga.
Sempat dia bilang kalau cost of living di Singapore itu hampir sama dengan di
Ostrali. Saya jadi deg deg ser, tiket pesawat dan akomodasi sih sudah
ditanggung, tapi kalo yang lain ya bayar sendiri. Saya jadi keder juga. Takut
kalau uang di tabungan terkuras gara-gara jalan ke Singapore. But show must go
on… lagi pula ini destinasi impian yang sudah sejak lama saya inginkan.
Kami
tiba di Changi airport jam 2 siang. Belum juga selesai terheran-heran dengan
airport Singapore (yang benar-benar jauuuuuuuuhhh bedanya kebersihan dan
kemewahannya jika dibandingkan dengan airort-airport yang pernah saya singgahi
di negeri sendiri) seseorang berjas hitam yang membawa papan bertuliskan nama
kami datang menghampiri. Rupanya, dia seorang driver hotel yang menjemput kami
di airport. Teman saya sempat mengatakan kalau dia pesan deluxe car. Saya sih
tidak ada ekspektasi apa-apa, namanya deluxe itu biasanya jenis yang paling
murah, meskipun kedengarannya ‘wah’. Saya hanya penasaran, kira-kira di
Singapore itu jenis mobil yang paling bnyak digunakan jenis mobil apa? Apakah mobil
impor Jepang atau Eropa, atau mereka punya mobil nasional? Belum juga rasa
penasaran saya terbayar, mobil driver yang saya kira mobil murahan ternyata
jenis Mercy S-class! Wiiiiiiihhh…! Kalau yang level deluxe saja sudah mercy,
gimana yang level di atasnya? Sayapun gatel bertanya ke pak drivernya. Dan dia
dengan enteng jawab, “Audy!”. Wiiiiihhh… Saya makin melongo.
Hotel
yang telah terpesan saat itu Mandarin Oriental, rupanya lokasinya lumayan jauh
dari bandara. Taxi driver yang membawa kami orangnya ternyata asyik juga. Sepanjang
perjalanan kami diajak ngobrol dan dia juga sedikit cerita mengenai negaranya,
tempat-tempat yang wajib dikunjungi, peraturan-peraturan hingga denda. “Singapore is a fine country!”
katanya lagi.
Tiba
di hotel, kami disambut ramah seorang staff bule yang cantik. Kamar yang kami
dapat juga benar-benar wow… jauh dari yang saya harapkan (fyi, saya tidak
banyak berharap karena toh saya cuma numpang, hehehe). Saya sebetulnya sudah
menyarankan untuk tinggal di hotel chain yang satu perusahaan dengan hotel
saya. Tariff untuk saya hanya 50% dari tariff normal dan tanpa breakfast. Lumayan
lah, lagian saya tidak terlalu suka sarapan a la hotel yang isinya hanya roti-rotian
saja. Sekarang saya tahu kenapa teman saya nolak. Karena hotel yang dia pilih
benar-benar jauh lebih bagus dari pada hotel yang saya sarankan. Meskipun untuk
itu, dia harus merayu orang tuanya untuk mengeluarkan kocek lebih dalam
sebanyak 8 kali lebih mahal dari plan semula.
Destinasi
pertama yang ingin kami tuju sebenarnya adalah Merlion park, yang lokasinya
lumayan dekat dari hotel (bahkan dari kamar hotelpun, sebenarnya kami sudah bisa
menikmati pemandangan landmark Singapore, mulai Marina Bay sand yang bentuknya
seperti perahu, stadion bola, taman kota hingga Merlion Park) namun, karena
cuaca sedang tidak bagus dan hujan mulai turun, kami naik taxi ke Jewel box. Saya
kira apaan, karena untuk kesana saya harus patungan merogoh kocek lumayan dalam
untuk bayar taxi yang cuma jalan 10 menit saja tariffnya sudah di atas 100
ribuan. Ternyata Jewel Box itu semacam cable car yang destinasinya ke Sentosa
Island! Waaahhh… saya langsung semangat tapi balik lemes lagi saat harus bayar
tiket. Per orangnya kalau dirupiahin saat itu sekitar 500ribuan.
Apaaaaahhhh????!!!
Eniwei
pemandangan yang dilalui cable car ini benar-benar spektakuler. Sebetulnya saya
pernah juga naik cable car di puncak, Bogor, namun tidak setinggi dan seindah
yang ini. Untungnya saya tidak fobia ketinggian, jadi enak saja menikmati
pemandangan indah a la bird’s eye. Sedangkan teman saya sibuk nutup mata dan pegangan
lengan saya kuat-kuat. Lah kalau takut ketinggian, buat apa bayar mahal-mahal
naik beginian??!
Sesampainya
di Sentosa Island, dasar kere, kami langsung menuju ke museum cable car (karena
itu satu-satunya wahana yang gratis), lalu poto-poto norak berbagai pose. Jalan
keluar dari museum ini ternyata melewati toko souvenir yang barangnya bujubuset
mahal. Gantungan kunci logam berbentuk ikon Singapore misalnya, harganya
rata-rata sedolaran (padahal satu dolarnya kalau dirupiahin sudah delapan
ribuan). Sedangkan gantungan kunci terbuat dari acrylic yang berbentuk cable car
harganya malah 5 dolaran. Busyeeettt!!!
Oke,
karena sudah terlanjur ada di Sentosa, kami lalu mengublek-ublek seisi Sentosa,
mulai Tiger sky tower, The image of Singapore, hingga the giant statue. Itu tuh,
patung singa raksasa yang menjulang tinggi di tengah rimbunnya Sentosa island. Saya
urung masuk Tiger Sky tower karena teman saya fobia ketinggian. Saya takut
begitu nyampek atas, dia nyakar muka saya saking parnonya. Supaya aman, kami
masuk ke wahana ‘The image of Singapore yang isinya kurang lebih cuma patung
lilin yang dirancang sedemikian rupa menceritakan awal mula terbentuknya negara
Singapura, hingga manusia hologram yang nongolnya hanya sekitar lima menitan di
awal acara. Bosan, kami lalu ke giant
statue, lagi-lagi latihan buat teman saya supaya tidak takut ketinggian. Rupanya,
untuk menuju kesana kami harus melalui escalator-eskalator otomatis. Lagi asyik-asyiknya
jalan, segerombolan anak muda dengan seragam warna hijau menyerobot jalan. Belum
juga kaget kami hilang, segerombolan lain berseragam merah berlarian ke arah kami,
meyerobot jalan lalu berlari ke rimbunan semak-semak. Berikutnya, satu kru televisi
datang dan mewawancarai kami. Rupanya, mereka tadi itu peserta acara reality
show suatu stasiun TV swasta. Kamipun diwawancarai sebentar. Noraknya! Bahkan di
negeri sendiripun kami belum pernah masuk tipi. Hehehehe…
The giant
statue yang kami tuju ternyata hanya sebuah tower dimana kami bisa menikmati
pemandangan indah sentosa Island dari ketinggian. Teman saya rupanya sudah
sedikit terbiasa, buktinya dia suda berani jalan sendiri tanpa harus pegangan
tangan saya (saya sampai geli dan takut
pasaran turun karena bisa jadi orang mengira kami lesbi). Sesampainya di atas
ternyata ada juru foto yang memotret kami dengan tiga pose garing, satu pose
biasa, pose mengaum dengan tangan membentuk cakar di udara, dan terakhir pose
kedua tangan menengadah yang kami masih gak ngerti maksudnya apa. Begitu turun
mau keluar, lagi-lagi kami harus melalui toko souvenir. Ketika mau melenggang,
seseorang memanggil.
“your
photo miss. Don’t you want to print them?” katanya.
Ketika
menoleh, ternyata photo kami yang diambil photographer di atas patung tadi
sudah terpampang manis di monitor seukuran kira-kira 24 inchi. Karena hasilnya
bagus, kami gatel mau ngeprint. Kirain gratis
karena sudah termasuk harga tiket masuk, eh ternyata kami harus bayar 15 dolar
per lembarnya. Total kami bayar 45 dolar untuk ngeprint photo ukuran 5R itu.
Duuuhh….!
Sekembalinya
dari sentosa, karena lapar, kami memutuskan untuk makan di China town. Dari berbagai
referensi, makan di China town itu salah satu cara wisata kuliner murah karena
barang dan makanan yang dijajakan bagus, murah dan enak. Kamipun lagi-lagi
tancap gas ke China town pakai taxi yang argonya bikin mampus. Sekalinya sampai,
kami nemu restoran kecil menjual masakan cina. Karena restorannya kecil (hampir
miri kedai gitu), saya kira harga makanannya juga akan murah. Begitu disodori
buku menu, lagi-lagi kami dibikin shock. Makanannya sih biasa saja, tapi
minuman yang tersedia hanya wine dan wine. Kalaupun ada air, adanya yang
sparkling water. Chinese tea juga tidak ada. Teman saya yang doyan wine
langsung hepi, sedang saya bingung mau minum apa. Sayapun akhirnya nyogok minta
dibelikan cola dari toko sebelah. Memang kombinasi yang aneh. seumur-umur baru
kali ini saya makan masakan cina minumnya cola. Sudah aneh, harganya (yang katanya murah) bagi
saya juga masih mahal. Harga souvenir yang ditawarkan juga sama, sedolaran
perbijinya. Heeeelp!!!
Besoknya
kami jalan-jalan ke Merlion dan Marina Bay Sand. Ke Merlionnya sih murah,
karena gratis gak usah bayar. Hanya repotnya, mau foto-foto jadi gak asyik
karena terlalu banyak orang. Pas ke Marina Bay sand, lagi-lagi kami harus bayar
untuk bisa ke invinity (sebutan untuk kapal kesasar itu..). Seumur-umur saya
masuk hotel dimana-mana gratis kecuali kalau makan dan minum, tapi di sini kami
mesti bayar lagi bayar lagi. Tapi pemandangan dari atas invinity memang luar
biasa, selain pemandangan alamnya yang wow, ternyata pemandangan di kolam
tertinggi inipun wow, banyak bule-bule ganteng bertebaran di mana-mana. Hehehehe…
Rupanya hotel ini nyambung jadi satu dengan lokasi casino dan mall besar. Kami hanya nengok ke casino karena tidak bawa passport, karena untuk masuk kami harus menunjukkan passport. Kami lalu jalan-jalan ke mallnya. Bener-bener gede dan baguuussss…. Dan tentu saja mahal, secara brand-brand yang terpajang juga merk-merk mahal.
Perjalanan
berikutnya adalah ke Orchard road. Karena seorang teman yang suka
ngompor-ngomporin, jadilah saya ke sana, kirain ada apa, ternyata orchard road
itu isinya hanya mall dan toko- toko doang! Beuh beuh.. Sepanjang perjalanan
isinya toko lagi toko lagi! Karena kelaparan jalan-jalan seharian dan hanya
bisa ngeces, kami putuskan ke China town lagi karena sepanjang jalan tidak ada
restoran. Kalaupun ada, ya jenis yang mahalan yang tentu saja berat di kantong.
Taxi yang kami tumpangi kali ini drivernya masih muda dan ganteng, sayangnya
cuek banget, jarang ngomong karena dia sibuk dengan ipad 2 nya di dasbor mobil.
Kirain dipakai buat Gps, eh gak taunya buat chatting sama girlfiend-nya. Keren sih,
taxi driver aja udah bawa ipad kemana-mana. Saya yang orang hotel juga gak
punya ipad. Gimana yang kalangan eksekutifnya ya?Sedang di negara kita, yang
punya ipad cuma golongan tertentu saja. Saya yang orang hotel saja belum mampu
beli. Hiks, kasihan sekali saya…
Overall, bagi saya Singapore tetap menjadi negara impian, melihat modernitas, kebersihan dan ketertibannya, membuat saya saya selau ingin kembali mengunjunginya lain waktu. Selain karena cost of living yang tinggi, saya sangat merekomendasikan negara ini untuk menjadi salah satu tujuan wisata saat libur. Yang menyedihkan, ketika menulis post ini, saya jadi ingat tabungan saya yang tipis akibat saya gasak selama di sana. Singapore, please return back my money!