Belakangan saya kedatangan seorang
teman yang asli orang Australia. Teman saya ini sebelumnya pernah ke Indonesia
dan lama berkunjung ke Jogjakarta. Kedatangannya kali ini masih tetap untuk
berlibur, hanya saja karena sudah pernah ke Jogja, dia berencana akan tinggal
sekitar dua minggu di Surabaya. Sebenarnya tidak ada masalah sih, hanya saja
karena dia tidak punya teman sama sekali di Surabaya, jadilah saya harus dengan
sukarela menjadi guide-nya. And you know lah guys, Surabaya kan bukan kota
wisata. Objek wisata yang wajib dikunjungi paling-paling ‘hanya’ jembatan
Suramadu, museum kapal selam, museum rokok, dan pasar-pasar tradisional.
Selebihnya, ya lihat kemacetan, dan melihat kebisingan dan kesibukan kota
sepanjang hari.
Dua hari berkeliling dan mentok,
sayapun bête dan kehabisan ide ngajak dia kemana. Mau makanpun musti mikir dulu
apa perut dia kuat dengan rempah-rempah lokal yang spicy banget ini. Mau
ngikutin dia makan ala kebiasaannya juga saya malas. Dia doyan makanan a la
Italy berupa Pizza atau pasta, yang bagi saya hanya ‘cemilan’. Burger dan
hotdog yang sehari-harinya jadi menu sarapan, buat saya hanya pengganjal perut.
Bukannya saya pemakan banyak, tapi sebagai orang Indonesia asli, asli perut
saya tidak akan merasa kenyang sebanyak apapun saya makan burger kalau
belum ketemu nasi. Hehehe…
Dan dua hari itu juga, saya sudah
mulai bosan menyesuaikan diri dengan makanan. Ini ceritanya saya tuan rumahnya
kok saya yang dijajah?! Males dong! Sayapun lalu memberanikan diri
menegur dia secara halus, “Hi dude, what is the justification of you being here
if you just eat western foods? You have to try local foods!” sayapun pura-pura
sewot. Eh, dia dengan enteng menerima tawaran saya. Saya jadi hepi dan ngajak
dia ke restoran masakan Cina. Maksudnya buat latihan gitu, sebelum dia
betul-betul makan masakan lokal yang ‘nendang’.
Percobaan pertama saya ajari dia
makan koloke, tumis kailan daging sapi, tim ikan kuah cokelat (pokoknya kuahnya
berwarna cokelat, saya lupa apa bumbunya) dengan nasi Hainan yang notabene
favorit saya. Di luar dugaan, dia doyan banget semua makanan itu dan ngajak
saya makan itu lagi besok. Sayapun tentu menolak. Meski favorit, tapi ogah ah
makan makanan yang sama dua kali berturut-turut. Si bule dengan pedenya
mencatat sesuatu di buku catatannya. Mungkin mencatat nama makanan yang barusan
dia makan, karena dia sempat tanya sama saya nama makanannya sebelum dia
mencatat. Si bule lebih girang lagi saat bill datang. Saya kira dia kena ayan
mendadak karena kaget melihat mahalnya harga yang tertera di bill. Eh, dia
nyengir ke saya dan bisik-bisik, “the price of foods here are really
cheaaaaapppp!!!!”. Nah lo, giliran saya yang mau kena ayan. Makan segitu aja
habis hampir 400ribu dan dia bilang murah bangetttt…. Saya yang sarap apa dia
ya?!
Besoknya, karena berniat ngerjain
dia, saya yang lagi ‘kumat’pun mengajak dia makan di restoran padang. Bukannya
saya jahat, saya kan maunya dia merasakan local taste. Supaya sampai di
negaranya dia cerita bahwa di Indonesia itu makanannya enak-enak dan murah. And
once again you know lah guys, kalau restoran masakan padang itu unik banget.
Semua makanan yang ada dihidangkan di atas meja panjang. Si bule udah mulai deh
noraknya dan tanya-tanya, kenapa gak ada buku menunya lah (lah emang restoran Italia?),
kenapa mejanya panjang banget dan bukannya kecil-kecil seperti restoran pada
umumnya, yang saya jawab kalau meja ini fungsinya untuk mendisplay makanan yang
akan disediakan yang dia asumsikan sebagai makan ala buffet (pasmanan). Dia
lalu tanya-tanya kalau buffet kenapa gak ada satupun makanan yang terhidang?
Saya yang bête dan sudah mulai bosan ditanya-tanyapun berang, “you (nunjuk dia)
shut up! Just wait and see!”. Saya mulai gak sabar. Oke, sebagai personal guide
saya akui saya ini bukan guide yang baik. Meski mukanya sedikit upset, si bule
menuruti kata saya. Saat mas-mas pramusaji mulai beraksi mengantar makanan di
piring yang ditumpuk-tumpuk diatas dua tangannya, saat itulah saya teriak ke
dia, “cepetan ambil kamera, itu ada pertunjukan bagus.” Si bule gak mau
ketinggalan moment bagus ini, yang langsung dia abadikan dalam bentuk video di
kameranya. Dia lalu senyum-senyum najong kemenangan, dan menyesalkan kenapa
juga saya gak mau bilang ke dia kalau bakalan ada atraksinya segala di sini.
Halah, kalau orang kita lihat begituan kan biasa…
Mas pramusaji telah selesai
meletakkan semua piringnya di meja. Nah lo, si bule masang muka bingung
dan mulai rese tanya- tanya lagi, “so, I have to eat all of these foods?” yang
saya jawab dengan, “yes, if your tummy has enough space for that”. Si Bule
nyengir dan dengan lahap makan. Gak nyangka ya, muka boleh bule, tapi makannya
kaya kuli angkut gini. Hehehe…
Rupanya si bule ostrali yang satu
ini beda banget dengan teman-teman bule saya yang lain. Yang ini perutnya kuat
makan rempah-rempah yang spicy dan kuat makan pedas. Buktinya, dia gak sakit
perut setelah makan masakan padang yang terkenal pedes dan nendang itu. Sayapun
jadi hepi ngajak dia makan ala streetfood karena gak usah khawatir dia sakit
perut setelahnya. Saya ajak dia berkeliling ke restoran masakan Makassar,
masakan Sunda, hingga ke warung pinggir jalan yang menu andalannya sayur asem,
lodeh, hingga yang menyediakan gule kambing dan kikil sapi.
Tak terasa dua minggu hampir
berakhir. Saya sedih juga harus melepas dia balik ke Perth. Padahal dia teman
makan dan jajan yang enak banget karena bisa menyesuaikan selera saya. lebih
enak lagi karena setiap kali jajan selalu dia yang bayar karena dia bilang
makanan di Indonesia murah-murah (yang ini dilarang sirik, wek:P!). Sebelum
berpisah dan menunggu pesawat, kamipun bercerita flash back mengenai kesan
kesan dia selama di Surabaya dua minggu ini. Sayapun tidak kaget saat dia
bilang, “Surabaya is great. The foods are all nice and cheaaaaapppp!” (Jujur
saya sedih setiap kali dia bilang di sini makanan murah-murah karena kenyataan
buat saya tidaklah demikian). Lalu saya tanya makanan apa yang menjadi
favoritnya. Dan dengan lantang dan 100% pede dia jawab, “Pipis ikan is my
favourite!”. What? Sayapun melongo gak ngerti. Lalu berusaha
mengingat-ingat dosa apa yang saya perbuat sampe saya ngasih makan nih bule
pipis ikan. Dan saya ingat betul saya tidak pernah masuk restoran yang
menyediakan menu pipis ikan.
“Sorry me but I don’t understand
what is pipis ikan.” Si Bule membuka-buka catatan kecilnya. “Pipis ikan is
served with sour veggie soup. The taste was really nice.” Sayapun dengan keras
mencoba mengingat-ingat jenis makanan apa yang dimakan bareng sayur asem.
Oalah, yang dia maksud itu pepes ikan yang dia baca dengan pipis ikan! Halah,
dasar bule!
So, Siapa mau makan pipis ikan??