Mimpi
buruk setiap hotel staff adalah saat hotel fully booked atau kamar yang
tersedia habis terjual. Loh, bukannya senang ya hotelnya ramai sehingga dompet
di akhir bukan juga ngikut “rame?” Saya sebenarnya sih tidak ada masalah dengan
fully booked asalkan didukung dengan sarana dan prasarana dan SDM yang
memadai. Seringnya, saat fully booked apalagi sampai berhari-hari,
teman-teman tumbang satu per satu karena sakit. Biasalah, management kan
punya stok karyawan yang ngepres pres pres. Nah, yang yang ngepres itu saat fully
booked tenaganya terforsir. Jika ada satu orang yang sakit, misalnya, yang
lain akan meng-cover, sehingga yang seharusnya dikerjakan tiga orang,
hanya dikerjakan dua orang. Extend sukarelapun tak terhindarkan karena
mau tak mau, sebagai tanggung jawab terhadap pekerjaan, kami harus
menyelesaikan tugas sampai benar-benar selesai meskipun jam kerja telah habis.
Kadang-kadang, demi menutupi satu staff yang sakit, staff yang lain harus
‘dikorbankan’ shiftnya untuk kepentingan lancarnya operasional. Misalnya hari
ini masuk sore pulang jam 11 malam, besok seharusnya masuk sore lagi jam 3,
tapi karena shift pagi sakit, maka besok harus masuk pagi jam 6. Terbayang,
Pulang kerja jam 11 malam itu belum termasuk extend sukarela-nya, belum
termasuk persiapan hendak pulang seperti ganti baju, mengembalikan seragam ke uniform
store, diperiksa di pos sekuriti, dan perjalanan pulang itu sendiri. Kalau
rumah dekat sih enak. Kalau yang rumahnya jauh? Bisa-bisa jam 1 baru sampai
rumah. Dan sampai rumah belum tentu langsung tidur, kan? Minimal butuh setengah
jam untuk persiapan dan rebahan sebentar sampai betul-betul tertidur. Dan
esoknya harus bangun paling telat jam 4.30 pagi supaya bisa incharge jam
6 pagi. Kalau staff ini schedulnya dibikin jumping tiga hari.. aja, saya
jamin hari keempat yang absen ke hotel bukan orangnya tapi surat dokternya
alias sick leave.
Sebagai
seorang customer service, motto kerja saya adalah customer oriented.
Bagi saya, rasanya senang bisa membuat tamu yang saya handle senang
dengan pelayanan yang saya berikan. Berdasarkan pengalaman pribadi, sebagian
besar tamu yang senang dengan layanan seorang staff, maka kalau mau minta
apa-apa pasti maunya sama staff yang sama, tidak akan mau dilayani staff yang
lain dan akan rela menunggu lama jika kebetulan staff tersebut sedang menghandle
tamu lain. Memang sedikit repot, namun efek bagusnya biasanya tamu akan
mengingat nama saya. Pas beli oleh-olehpun, saya ikutan dibelikan oleh-oleh,
katanya sebagai ucapan terimakasih karena membuat liburannya memorable
selama tinggal di hotel di tempat saya bekerja. Kadang-kadang, ada juga yang
menyelipkan selembar dua lembar dolar, atau mata uang lain semacam Euro
jika beruntung. Bonus tambahan kalau tamu tersebut menyebut nama saya di guest
comment atau trip advisor *ngarep. Saya berusaha semampu saya
memenuhi harapan mereka selama saya bisa, tapi seringnya saat fully booked,
orientasi saya bukan lagi customer oriented tapi jadi time oriented
karena banyak sekali tamu yang harus dihandle sedangkan tenaga kami
sangat terbatas.
Dampak
paling menyebalkan dari fully booked adalah saya musti extend
lebih dari dua jam. Mau protes gimana, mau diam juga gimana. Gara-gara kelewat
telat pulang, saya gagal bertemu teman lama dari Surabaya yang berkunjung ke
Bali. Mau nyamperin kok dia tinggalnya di daerah Bedugul yang jarak tempuhnya
paling cepat 2 jam dari Seminyak (belum termasuk kesasar), sekalinya ke daerah
Kuta dan Seminyak dihari terakhir sambil jalan ke airport. Padahal kami sudah
lama merencanakan main bareng sebentar di Kuta dan saya sama sekali tidak
sempat bertemu karena kelamaan ngantor. Kabar buruknya, teman saya ini sekarang
dipindah tugaskan di Papua sehingga kemungkinan
untuk bisa bertemu kembali lebih kecil *nangis darah.
Dampak
lain yang membuat saya kadang-kadang bête adalah saya tidak bisa fokus dengan
tamu yang sedang saya handle karena telepon selalu berdering. Di tempat
kerja ini tidak ada staff khusus yang bertugas sebagai telepon operator, jadi
telepon dari dalam dan luar hotel ya semua masuk ke receptionist. Suatu
ketika saya sedang menghandle seorang Ibu-ibu dari Jakarta yang sedang check
in, baru saja saja saya mau menerangkan mengenai room rate, telepon
berbunyi.
“Jadi
Ibu Kartika check in hari ini, dan tinggal bersama kami selama dua malam
sampai tanggal 14 Juli. Untuk harga kamarnya…”
Tulilit-tulilit.
Tulilit-tulilit..
Telepon
sialan itu bunyi. Ada telepon dari luar.
Saya
mengisyaratkan maaf ke tamu saya karena harus diinterupt oleh telepon.
Si Ibu sih maklum…
“Good
morning, Boutique hotel Seminyak, Anna speaking how may I assist you?”
Yang
di seberang: “Bisa disambungkan ke accounting bagian purchasing?”
“Baik.
Mohon tunggu. Terimakasih.” Seperti biasa, tanpa perlu berfikir saya sambungkan ke bagian purchasing.
Saya
mesam mesem sedikit ke Ibu Kartika yang sabar menunggu.
“Baik,
Ibu Kartika, untuk harga kamar permalamnya sudah confirmed di dua juta
lima…”
Tulilit-tulilit.
Tulilit-tulilit…
Taelah
itu telepon sialan bunyi lagi dan saya langsung hilang konsen. Mau dibiarin
saya bisa budeg sendiri, kalo mau diangkat kok saya jadi gak enak dengan tamu
saya. Tapi akhirnya saya pilih opsi kedua. Minta maaf lagi karena proses check
in jadi tersendat.
“Good
morning, Boutique hotel Seminyak, Anna speaking how may I assist you?”
Yang
di seberang : “Bisa minta tolong disambungkan ke accounting bagian
pembayaran?”
Ampun!
Accounting lagi. Saya dengan sedikit dongkol menyambungkan telepon, lalu
kembali ke tamu saya.
“Terimakasih
sudah menunggu, Ibu Kartika. Saya lanjutkan sedikit ya.” Tamu saya ngangguk
tapi mukanya jadi sedikit asem.
“Untuk
kamarnya, sesuai dengan yang sudah Ibu pesan, Suite non smoking king size…”
Tulilit-tulilit.
Tulilit-tulilit…
Tobaaaatttt!!!
Rasanya saya pingin banting saja itu telepon sialan di tempat. Kenapa juga sih bunyinya
musti sekarang? Bentar lagi napa kalau tamu saya sudah pergi? Saya nangis dalam
hati.
“Good
morning, Boutique hotel Seminyak, Anna speaking how may I assist you?”
Yang
diseberang: “Dari Bali segar cemerlang, Bu. Bisa minta tolong disambungkan ke accounting
bagian receiving?”
Oh
God! Mau segar kek, mau cemerlang, kek. Coba yang telepon itu ada di
depan saya, pasti sudah saya ikat di kursi dan saya selotip mulutnya pakai
lakban supaya gak gangguin saya.
Ketika
saya mau balik lagi tamu saya, dengan muka asem se asem-asemnya, tamu saya
dengan sadisnya malah bilang gini,
“Tunggu
aja dulu mbak, yang nyari bagian pajak dan bagian penagihan belum nelpon.”
Arrrgggghhh….!!!!
Masih
tentang telepon, saya sempat mengabadikan momen unik teman saya yang sedang handling
telepon saat peak season (kondisi hotel paling ramai) dan hotel sedang overbooked,
alias jumlah tamu yang booking kamar lebih banyak daripada jumlah kamar
yang tersedia. Seorang tamu yang telepon
entah darimana, ngebet banget ingin booking padahal sejak awal teman
saya, Erik, sudah menjelaskan bahwa hotel kami overbooked dan tidak ada
kamar lagi. Tapi, si tamu tetap ngotot.
“Its
oke, its oke, I can check in later in the evening time after your guest check
out.”
“Sorry
Maam, but we are overbooked at this moment. We don’t have any rooms available
for you tonight.”
“But
I believe you still have spare rooms available, right? It is Ok that you don’t
have king size bed, you can give me your twin bed.”
Erik
mulai pasang mimik nangis.
“Deeply
sorry, Maam. Even our twin room is not available for tonight. We are..”
“No,
no no. I believe you still have…”
Erik
mulai guling-guling di lantai sambil tetap ngoceh menjelaskan bahwa kami memang
benar-benar tidak punya kamar lagi.
Si
tamu tetap ngeyel. Dan Erik sudah persis seperti kuda lumping kesurupan
guling-guling di lantai sambil pegang horn
telepon saking stressnya.
*)Ini bukan rekayasa
Gak nyangka kan, ada juga hotelier yang kaya begini.