“Baca apa nih? Oh novel cinta-cintaan lagi? Kapan pinternya kalau bacaannya novel terus?”
Seorang teman mengomentari buku bacaan saya, lebih dari 10 tahun yang lalu.
Saya sempat sedih dengan perkataan teman tersebut dan menjadi rendah diri karenanya. Saya sempat berfikir jangan-jangan otak saya hanya mampu memahami bacaan novel cinta-cintaan yang sedang saya baca ini?
Imbasnya, saya jadi minder berkepanjangan dan malu membaca buku tertentu di tempat yang terlihat orang lain. Saya mulai merasa insecure dan merasa orang-orang memperhatikan apa yang saya baca dan menilai saya berdasarkan buku saya. Tak hanya di ruang publik, saat sedang di toko buku pun, saya merasa insecure. Akibatnya, saya mulai membeli buku-buku ‘berat’ yang popular saat itu dan mulai menimbunnya di rumah. Bukan karena saya menyukai buku tersebut, namun saya membelinya dengan tujuan menciptakan image bahwa saya seorang intelektual karena bacaan saya yang ‘berat’. Padahal kenyataaanya, buku-buku tersebut hanya berfungsi sebagai pajangan semata. Saya sungguh naif saat itu. Saya tidak sadar sikap saya tadi timbul karena saya mendapatkan perlakuan book shaming.
Book shaming sendiri adalah suatu istilah yang saya artikan sebagai ‘menyinyiri selera buku bacaan orang lain’. Hal ini biasanya dikarenakan adanya anggapan bahwa buku dari genre tertentu lebih baik dan lebih berbobot dari genre lainnya.
Padahal, saya percaya bahwa buku bergenre apapun itu pasti memiliki manfaat bagi pembacanya. Pernah mendengar frasa ‘buku adalah jendela dunia?’. Saya sangat mempercayai itu. Buku bagi saya adalah cerminan isi kepala penulisnya, dan melalui kegiatan membaca buku, wawasan kita akan bertambah. Jadi sebetulnya tak perlu malu dan rendah diri dengan buku yang kita baca, genre apapun itu.
Saat sedang berdiskusi mengenai buku dengan seorang teman, ia sempat mengatakan sebuah frasa terkenal, ‘you are what you read’. Saya tidak menyangkal, tapi juga serta merta setuju. Sama dengan you are what you eat, dan you are what you think, kadang-kadang apa yang masuk melalui apa yang kita makan, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita baca akan mempengaruhi pola fikir kita. Bersikaplah terbuka terhadap segala informasi yang kita dapat dari sebuah buku, namun jangan langsung menelannya mentah-mentah. Sama seperti makanan, setiap orang memiliki selera yang berbeda. Yang seharusnya kita lakukan adalah menghormati selera orang lain, dan bukan bersikap nyinyir terhadapnya.
Bukan tak mungkin, selera bisa saja berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dua belas tahun yang lalu memang saya sedang tergila-gila dengan novel Twilight karangan Stephanie Meyer. Namun sekitar 4 tahun kemudian, saya mulai menyukai buku-buku non fiksi sejak membaca buku The Naked Traveler karya Trinity dan The life changing magic of tidying up karya Marie Kondo. Seorang teman mengenalkan buku-buku finansial seperti Rich Dad, Poor Dad karya Robert Kiyosaki, dan Smart couple finish rich karya David Bach dan sejak saat itu saya amat mencintai buku-buku bertema finansial.
Boleh dikatakan, membaca itu hampir sama dengan latihan fisik. Perlu komitmen dan konsistensi dalam melakukannya. Mulai dari buku yang tipis, lalu berangsur-angsur membaca buku yang tebal. Mulai yang isinya ringan, lalu berangsur-angsur membaca buku yang isinya bisa membuat kita berfikir keras.
Kesimpulannya, genre apapun baik novel romansa atau filsafat, buku tebal atau tipis, cerita yang ringan atau isi buku yang berat dan berbobot, kita tidak perlu malu dengan selera bacaan kita. Yang kita perlukan hanyalah bersikap terbuka. Lagipula, selera orang berbeda-beda. Hendaknya kita tidak meremehkan dan menjelek-jelekkan bacaan orang lain, karena setiap orang memiliki hak untuk menikmati bacaannya.
Happy reading!
Photo credit: Unsplash
***
"What are you reading? Oh, over-romantic novel again, huh?! You are not getting any smarter if you keep reading those type of novel! "
Someone commented on the book I was reading. This was more than 10 years ago.
I was saddened and feeling so inferior because of her words. I had a thought that my brain may could only understand the love story novel, and nothing better than that.
As a result, I became quite insecure for some time and feeling embarrassed to read certain type of books in public. I began to feel suspicious and had a feeling that people paid attention to what I was reading, then judged me based on my book. Not only in public space, but even when I'm in a bookstore, I still feeling uncomfortable. As a result, I started buying 'heavy' books that were popular that time and started to display them at home. Not because I like the book, but I bought it because I want to have an image that I am an intellectual and smart because my reading is the 'heavy' type. In fact, these books are used no more than as a display or decoration. I know I was really naive back then. I didn't realize that I was getting a book shaming.
Book shaming itself for me is an act of saying something inappropriate or insulting other people’s taste when it comes to a book. This is usually because people thinks that certain book’s genres are better and have more ‘weight’ or knowledge rather than other genres.
I believe that all types of book certainly contained benefits for its readers. In Bahasa Indonesia, there’s a saying that ‘Book is a window of the world’. I really believe in that. The book for me is a reflection of the contents of the author's thought, and by reading books, we received some new information and knowledge. So, no need to be shy and feel inferior about our choice of book, no matter what genre it is.
While I was in a discussion about a book with my friend, suddenly she mentioned a famous phrase, 'you are what you read'. I did not deny it, but also not immediately agree. Quite the same as, ‘you are what you eat’, and ‘you are what you think’, sometimes those things will affect the way we think. Be open to all information we get from a book, and don't swallow it straight. Just like foods, everyone has different tastes. What we should do is respect other’s taste, and not to be nosy about them.
The taste itself can changed over the time. Twelve years ago, I was really in love with the Twilight series, novels by Stephanie Meyer. But about 4 years later, I started to like non-fiction books since I read The Naked Traveler by Trinity and The life changing magic of tidying up by Marie Kondo. A friend introduced financial IQ books such as Rich Dad, Poor Dad by Robert Kiyosaki, and Smart Couple finish rich by David Bach and since then I love book about finance, business and management. Fiction books are no longer interests me.
To me, reading is similar to physical exercise. Need commitment and consistency when you doing it. Starting from a thin book, then gradually reading a thick book. Started by reading a simple ‘light’ content, then gradually reading a hard to ‘digest’ type of book.
In conclusion, any genres from romance novel to philosophy books, thick or thin books, light stories or difficult to understand content, we don’t need to be ashamed of our reading tastes. All we need is to be open minded. After all, people's tastes are different. We should not humiliating or insulting other people’s choice, because everyone has the right to enjoy reading what they like.
Happy reading!