Dimana Gigi Saya?

By Anna - May 22, 2020

Di suatu sore yang biasa-biasa saja sekitar 11 tahun yang lalu, saya bekerja sebagai kasir di sebuah restoran Chinese yang terkenal akan dumplingnya dari daerah Shandong (dibaca ‘shantung’), China. Restaurant ini terletak di dalam mal terbesar di kota metropolitan, Surabaya. Hari itu hari Sabtu, biasanya pengunjung restaurant akan lebih ramai dari biasanya. Sayapun bersiap-siap menata meja kerja, mengelompokkan pecahan uang untuk kembalian, mengganti kertas printer bill yang akan habis, dan mengelap bill folder. Rekan-rekan yang lain tak kalah sibuknya. Para waiter dan waitress sudah mulai melayani beberapa pembeli yang berdatangan dan sibuk mencatat pesanan. Bartender sedang bersiap dengan gelas-gelasnya. Dari bilik kaca, saya lihat beberapa chef mulai sibuk bergulat dengan tepung, membuat kulit dumpling. 

Tak lama kemudian serombongan keluarga besar sejumlah 20 orang masuk. Ada beberapa anak kecil, dua orang kakek nenek, sisanya remaja tanggung dan bapak ibu paruh baya. Keluarga besar ini rupanya sedang merayakan ulang tahun ke 80 untuk sang nenek. Order makanan langsung berdatangan, beraneka menupun dipesan. Tak butuh waktu lama, meja panjang berisi 20 orang itu penuh dengan berbagai hidangan dan berbagai minuman. 

Pesta sederhana yang meriah untuk sang nenek. Dalam sekejap, berbagai hidangan tandas menyisakan piring berlumur saus sisa makanan. Beberapa orang berdecap menikmati lezatnya hidangan. Sebagian lainnya lunglai kekenyangan. Onggokan tisu bekas berserakan tak berdaya di seluruh meja diantara piring dan gelas kosong. 

Waiter dan waitress dengan sigap segera membersihkan segala piring dan gelas kosong. Tentu saja sambil memunguti onggokan tisu-tisu kotor yang berserakan di seantero meja. Semua orang terlihat gembira. Meja kembali bersih, setelah waiter mengelap meja. Kue ulang tahun dikeluarkan, dan puncak acara perayaan ulang tahun sang nenekpun digelar. Riuh rendah suara semua orang menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Nenek yang menjadi pusat perhatian hari itu terlihat sangat bersemangat. Senyumnya merekah sepanjang acara.

Hari semakin larut, pestapun usai. Rombongan itu membayar bill dan meninggalkan restoran. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Saatnya tutup. Masing-masing personel dalam restaurant ini sibuk dengan tugas masing-masing. Saya larut dengan tugas saya membuat laporan keuangan hari itu, waiter dan waitress sibuk menata meja dan menutup rolling door, orang-orang di kitchen sibuk membereskan dapur dan membawa sekantong besar plastik sampah di depan pintu restaurant. Tak lama seorang petugas kebersihan mengangkut sampah itu, lalu melanjutkan perjalanannya mengangkut sampah dari retaurant lain. Tugas kami untuk hari itu selesai sudah. Kami bersiap untuk pulang.

Saat hendak mengunci rolling door, tiba-tiba seseorang menepuk pundak saya.
“Mbak, ada lihat gigi saya tidak?” Seorang bapak paruh baya bertanya sambil terengah-engah, seperti habis lari. Eh, kenapa wajahnya tidak asing, ya? Wait, wait! Ini kan bapak yang di pesta ulang tahun nenek tadi!
“Gigi apa ya pak?”
Heran. Nanya gigi kok ke saya. Padahal gigi bapak ini masih utuh tuh, kelihatan pas dia bicara.
“Gigi palsu nenek saya, mbak. Tadi kan makan di sini.” 
Saya segera bergegas membuka kembali rolling door dan memanggil beberapa staff restaurant yang belum meninggalkan lokasi. Bersama-sama kami mencari-cari gigi di setiap sudut ruangan, ke kolong meja kursi, wastafel, dan seluruh penjuru restaurant. Tidak ketemu.
“Sepertinya tidak ada di sini, Pak. Sudah dicari di tempat lain? Barangkali lupa ditaruh dalam tas?” 
Si bapak menggeleng.
“Mungkin jatuh di kursi mobil?” 
“Kami belum sampai masuk mobil, mbak. Setelah selesai makan malam di sini tadi, kami langsung mau pulang kok. Pas baru mau sampai parkiran,  tiba-tiba nenek saya teringat giginya hilang.”
Waduh, berarti memang ada kemungkinan itu gigi terjatuh di sini.
“Nenek saya memang pelupa. Tapi ini gawat sekali. Giginya itu pesanan khusus dari Singapura,  dan beliau tidak bisa makan tanpa itu gigi.”
Kasihan sekali si nenek. Lah tapi bagaimana dong? Kami juga sudah berusaha mencari selama setengah jam lebih, meski tanpa hasil.
“Ayo dong, mbak. Bantuin mikir. Dimana ini gigi saya?”
Lah, gimana sih ini bapak, kok saya disuruh mikir?
“Coba diingat-ingat lagi Pak, dimana biasanya beliau meletakkan giginya kalau di rumah?”
Si bapak garuk-garuk kepala. 
“Habis makan nenek biasanya melepas giginya, suka dibungkus pakai sapu tangan. Eh tapi hari ini nenek tidak pakai sapu tangan, karena saputangannya di tas, sedangkan tasnya dibawain istri saya.”
“Apa jangan-jangan giginya dibungkus tisu, Pak?” 
Kami berdua berpandangan. Aha! Sepertinya kami menemukan sebuah petunjuk.
“Tisu bekas mana tisu bekasnya mbak? Sampah mana sampah!?”
Gawat! Sampahnya kan sudah diangkut petugas kebersihan mall! Kami berlari menuju tempat penampungan sampah sekencang mungkin. Semoga truk sampah belum datang, semoga belum datang!

Syukurlah kami sampai di loading dock pengangkutan sampah tepat waktu. Truk sampah belum terlihat, meskipun beberapa petugas kebersihan sudah siap di lokasi. Tapi melihat banyaknya kantong sampah, saya jadi pesimis dan semangat saya langsung mengendur. Apa iya kami harus mengobrak abrik sampah sebanyak itu hanya untuk menemukan sebuah gigi palsu? Oh No!!!

Beruntung, staff kebersihan yang tadi mengangkut sampah kami masih di situ.sayapun berinisiatif menanyainya karena iapun heran tumben tumbenan staff restaurant datang ke tempat sampah, bersama tamu pula.
“Bapak, sampah dari restoran dumpling kita sebelah mana ya? Tamu saya ada kehilangan sesuatu, barangkali ikut terbuang di sampah.”
Staff kebersihan mengernyitkan alis, tapi lalu tersenyum tipis.
“Kalau tidak salah sih yang paling ujung itu mbak. Kebetulan tadi resto dumpling saya ambil terakhir jadi di tumpukan paling atas, dan kantong itu yang pertama saya turunkan.”
Tanpa buang-buang waktu, saya dan bapak tamu saya ini mengambil kantong sampah itu dan mengecek satu per satu isinya. Jangan tanya bagaimana rasanya, dalam hati saya sudah sumpah serapah amit-amit jangan sampai hal seperti ini kejadian lagi.

Kami sudah membongkar hampir separuh isi plastik sampah, sampai tangan saya tak sengaja menyentuh sesuatu yang keras di balik gumpalan tisu. Sayapun membuka tisu setengah basah dan lengket tersebut. Sesuatu yang agak berlendir teraba, dan ketika diperhatikan dengan seksama, tampak jelas jika benda itu adalah gigi palsu. Hore, giginya ketemu!

Rupanya, gigi itu dibungkus dengan tisu dan ikut terbuang pada saat waiter membersihkan meja. Memang agak ceroboh sih, asal saja membersihkan semuanya tanpa merasa curiga sama sekali jika salah satu bungkusan itu berisi gigi palsu yang amat berharga bagi pemiliknya. Tapi, ya kali siapa juga yang mau cek satu persatu bungkusan tisu? Bukannya harta karun semacam cincin berlian yang ditemukan, salah salah malah berisi ingus. Yikes!


*Fito hanya ilustrasi. Source: Alodokter

Bapak tamu saya mengucapkan banyak terimakasih. Staff kebersihan yang ikut membantu, turut tersenyum lega. Sungguh hari yang menegangkan dan melelahkan. Mimpi apa saya malam sebelumnya, pulang kerja bukannya langsung pulang, tapi malah korek-korek sampah mencari gigi.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar