Bekerja
sebagai frontliner di hotel, saya banyak ketemu OKB, alias orang kaya baru.
Duit sih banyak, tapi kelakuannya… ubelieveable!
“Mbak,
kalau mau nginep di sini berapa ya semalamnya?” Seorang tante-tante dengan
dandanan super menor suatu sore datang ke konter saya.
“Ibu
mau jenis kamar yang apa? Kami ada kamar deluxe, premium, dan suite.”
“Yang
paling murah yang mana?”
“Yang
deluxe, bu.”
“Saya
gak mau yang paling murah. Yang mahalan?” Tuh, mulai keliatan OKBnya.
“Yang
jenis di atasnya ada kamar premium.”
“Harganya?”
Si ibu kibas-kibas rambut rebondingnya.
“Kamar
premium harganya hari ini di tiga juta lima ratus nett, Ibu.”
“Maksudnya
harga nett apaan? Kamar aja gitu gak ada kasurnya?”
Eeeeerrrr…
ini ibu-ibu ketahuan belum pernah tinggal di hotel nih. Masa iya kita jualan
kamar, dan kamarnya doang gak pakai kasur. Memangnya kos-kosan?
“Maksudnya
harga sudah bersih, sudah termasuk pajak dan service charge.”
“Ohh…”
Entah
si Ooh-nya ibu ini artinya dia ngerti atau tidak.
“Yang
paling mahal, berapa?”
“Yang
kamar suite yang tersedia tinggal executive suite, Ibu. Harganya lima juta
rupiah.”
“Hah?!”
Si ibu mukanya kaget.
“Kenapa
bu?”
“Gak
apa-apa.” Katanya sedikit tersipu.
“Saya
ambil yang itu.”
Wiiih…
ini ibu-ibu gokil juga. Secara nginep di hotel sepertinya belum pernah,
sekalinya nginep yang jenis executive suite dan menolak kamar yang paling
murah.
“Baik,
kalau begitu ini registrasi ibu. Mohon diisi di bagian yang saya tandai saja.
Lalu tandatangan di sebelah sini. Oh ya, saya bisa pinjam KTP ibu untuk saya
fotokopi?”
“Hah,
buat apa mbak?” Si ibu mukanya bingung dan kaget.
“Untuk
melengkapi proses registrasi, Bu. Semua tamu yang check in, kami fotokopi KTP
atau paspornya.”
Barulah
si Ibu menor mau mengerti. Lah dikiranya fotokopi KTP buat apaan?
“Untuk
pembayarannya mau menggunakan apa, Bu?”
“Pakai
kartu lah, mbak. Hari gini masa pakai uang cash.” Katanya lagi dengan
sombongnya sambil mengeluarkan kartu...atm!
Sayapun
dengan halus menolak. “Barangkali ada kartu kredit, Bu?”
“Lah,
ini kan kartu kredit?”
Ya
ampun… gimana ya jelasinnya. Bahkan kartu debit dan kartu kreditpun saya harus
terangkan satu per satu.
“Maaf,
bu. Ini kartu debit. Kalau kartu debit, saya tidak bisa melakukan card
verification.”
“Apa
itu mbak maksudnya?”
“Jadi
kartu kreditnya Ibu nanti saya blok dananya, nanti pada saat check out saya
release-kan kembali.”
“Lah,
kenapa kartunya di blok? Saya gak bisa pakai belanja dong nanti?”
Waduh….
CS bank mana nih CS bank?
“Atau
begini saja, bu. Kartu ibu saya debet sejumlah harga kamar ibu. Nanti ibu
deposit dengan uang cash satu juta, saya kasih tanda terimanya. Nanti pada saat
check out, kalau Ibu tidak ada bill diluar kamar, saya kembalikan uang cashnya.”
“Saya
sudah bayar harga kamarnya kok masih dimintain uang lagi sih mbak?”
“Yang
deposit satu juta itu, hanya sebagai garansi saja untuk pengeluaran extra di
luar kamar. Semisal Ibu ada makan malam di restaurant, atau ada minum di lounge
atau bar, Ibu tinggal tandatangan saja di billnya dan tidak usah bayar cash di
outletnya. Nanti pada saat Ibu check out, tagihannya ada di receptionist dan
kami potongkan dari satu juta tadi.”
Mudah-mudahan
si ibu menor ngerti.
“Lah,
saya kira saya sudah bayar mahal boleh makan sepuasnya di restoran hotel, mbak.
Taunya masih harus bayar lagi, ya?”
Gubrak!
“Iya,
Bu. Harga yang Ibu bayar hanya untuk kamar dan sarapan saja. Di luar itu, harus
bayar lagi.”
“Berarti
yang ada di kamar semuanya sudah gratis, dong?”
Maksudnya,
TV, DVD, sofa dan kasur boleh dibawa pulang, gitu?
“Di
kamar ada beberapa item yang berbayar, Ibu. Minibar, laundry, dan telepon ada
chargenya.”
“Waduh,
yang gratis cuma tidurnya aja dong, mbak?”
Saya
hanya nyengir asem. Maksud loh?
***
Seorang
ibu-ibu tambun yang juga minta kamar tipe paling mahal tiba-tiba nanya-nanya ke
saya setelah proses check in selesai.
“Oh
ya mbak, dari sini ke Legian berapa lama ya?”
“Kurang
lebih 15 menit, Bu.”
“Bukannya
Seminyak ke Legian dekat saja, ya?”
“Iya
Bu. Sebenarnya tidak jauh. Hanya saja karena jalannya kecil dan banyak mobil
lewat, jadinya macet.”
Si
Ibu mengangguk-angguk. Untungnya saya tak perlu menjelaskan perbedaan kredit
card dan debit card pada saat ibu ini membayar deposit karena dia bawa lembaran
ratusan ribu bergepok-gepok.
“Mobil
besar bisa lewat gak sih, mbak?”
Heran.
Sejak kapan mobil dilarang lewat.
“Tentu
boleh, Bu. Hanya saja kalau bawa mobil ya siap-siap kena macet. Sepanjang raya
Seminyak sampai Legian itu padat sepanjang hari.”
“Paling
aman jalan subuh aja kali ya?” Si ibu nyengir-nyengir gak jelas.
Saya
jadi curiga. Si Ibu ini bawa mobil besar, jalan ke Legian subuh-subuh. Mau
ngapain, coba? Sayapun gatel bertanya,
“Memangnya
Ibu mau ngapain subuh-subuh ke Legian? Bar paling pagi tutup sekitar jam 3.”
“Saya
mau antar barang mbak ke Legian. Barangnya besar, dan diangkut pakai mobil besar.
Makanya saya tanya mbak, mobilnya boleh gak lewat situ.”
Masih
kepo, saya nanya lagi, “ Memangnya mobil ibu sebesar apa?” Karena untuk
kategori mobil, menurut saya yang paling besar adalah jenis Pajero Sport atau
Fortuner. Saya sendiri paling senewen kalo ketemu dua jenis mobil ini di jalan.
Bukannya kenapa-kenapa, jalanan di Bali kan kecil-kecil. Susah nyalip aja
karena kedua jenis mobil ini menuh-menuhin jalan dan memblok pandangan.
Si
ibu dengan polosnya menjawab, “Truk. Jenis tronton.”
What!
Saya langsung mangap, apalagi si Ibu cerita dia jauh-jauh jalan dari salah satu
kota kecil di Jawa tengah ke Bali dengan mengendarai truk itu selama
sehari-semalam bersama suaminya. Hebat!
Kepo
saya belum berakhir. Saya jadi penasaran dimana si Ibu memarkir ‘mobil
besar’nya.
“Itu!”
Si Ibu menunjuk ke halaman hotel dan disana memang terparkir truk besar karena
ketinggian truk tidak muat kalau harus parkir di Basement.
Busyet!