Sore kemarin ketika saya sedang
ngobrol dengan seorang teman bule, saya dibuat tertawa sampai guling-guling
saking sotoy-nya si Bule. Ngakunya sih sudah lama di Indonesia tapi bahasa
Indonesianya…alamak mending gak usah ditanya. Kacau!
“Do you know why I like Jakarta?”
Tanyanya suatu hari, saat kami dalam perjalanan ke Kemang.
Saya menggeleng. “Why?”
“Shopping mall is everywhere. Cheap
taxi. Cheap foods. Cheap bla.. bla.. bla…”
Ini nih, yang paling bikin ngiri.
Enaknya jadi bule yang terbiasa hidup di negara yang cost of livingnya
tinggi sehingga kalo main ke Indonesia mesti bilang everything is cheap!
Dia lanjut lagi. “Girls are
pretty and many boys gantung!”
Waks? Gantung? Apanya yang
digantung, coba?
“What? Gantung?”
“Yes, gantung. Handsome.” Katanya lagi dengan muka innocent.
Ganteng dibilang gantung. Orang
digantung ya mati! Ganteng dengan gantung itu jauuuuuhhh jendral!!!
Sopir taxi yang sedari tadi hanya
senyum-senyum asem mendengar pembicaraan kami, tiba-tiba buka suara.
“Lampu merah ini belok kanan, neng?”
Oh.. sepertinya si abang taxi ini
orang betawi. Belum juga saya menjawab, si bule sebelah yang nyautin.
“Turuuus pak.”
Supir taxi ngakak. Saya bengong. Ini
bule sepertinya dulu berprofesi sebagai juru hitung pemilu di negaranya.
Saya kira perbendaharaan kata
berbahasa Indonesia si bule aneh ini hanya ‘kepleset’ saat dia ngomong saja.
Ternyata, kamus yang dia jadikan sebagai peganganpun kadang-kadang membuat
kesalahan fatal dalam menerjemahkan arti suatu kata.
Jadi ceritanya saya lagi chatting
sama dia via whatsapp. Entah apa yang jadi topik, saya ngomong pakai
bahasa Indonesia dan menyelipkan kata “pura-pura”. Eh, rupanya si bule gak
ngerti apa itu pura-pura sehingga dia buka kamus dan langsung balas,
“Pura-pura is demo.”
Lah? Pura-pura sama dengan demo?
Saya jadi curiga jangan-jangan dia
bukannya buka kamus, tapi malah buku politik. Duuuh…
Lain teman saya, lain tamu saya.
Kalau biasanya saya mendengar bahasa Inggris yang dibahasa Indonesiakan, kali
ini sebaliknya. Bahasa Indonesia yang dibahasa Inggriskan.
“I sometimes can’t understand
Asian culture.” Kata seorang tamu bule membuka percakapan basa- basi sehabis
proses check in selesai. Kebetulan, sore itu memang sedang sepi sehingga bisa dengan
leluasa ngobrol panjang.
“What’s wrong, Mr. James.” Iseng saya menanggapi kalimatnya barusan.
“In Thailand I found people sell
deep fried cockroach as a snack in the market.”
“Ya, I have ever heard about that,
too.”
Katanya sih memang ada di pasar
tradisional. Entahlah. Malang sekali si bule ini, jauh-jauh ke Thailand dan
ketemu kecoak goreng dijual orang di pasar buat cemilan. Hiyaaakkkss!
“And now in Indonesia people sell cat
to be eaten with rice.”
Loh loh loh? Ini bule habis
traveling dari mana ya, sampai nemu kucing dijual orang untuk dimakan pakai
nasi? Saya pernah dengar sih ada orang jual daging anjing, tapi kucing? Ah,
pasti ada yang salah.
“May I know where is it?”
Si Bule menghela nafas sedih. “Jogjakarta.
I went there four days ago before I went Surabaya and now Bali.”
Baru saja saya mau ngomong
menjelaskan, si bule udah nyamber duluan.
“They named it Nasi Kucing. Nasi is rice while
kucing is cat, right?”
Errrr… namanya sih boleh nasi
kucing, tapi bukan berarti isinya nasi sama daging kucing! Kalau menerjemahkan langsung berdasarkan kamus ya
begini nih hasilnya. Gebleg!
Sebelum image negara tercoreng
dengan statement “orang Indonesia ternyata makan kucing” sayapun meluruskan pemahaman
yang salah ini.
“ The name is Nasi kucing is because
the portion is very small like a cat’s meal and doesn’t mean we eat cats .” Saya mencoba mengklarifikasi.
Si bule tambah bingung. “Cat’s
meal? Are you kidding? Cat is carnivore and they don’t eat rice.”
Hahahahaha. Lupa ding. Kucing di
luar negeri gak makan nasi. Makan pizza kaleee… Ampun deh!