ASI Bikin Bodoh?

By Anna - May 14, 2020

“Kok gak disapih? Kalau anak sudah berumur di atas 2 tahun, asinya sudah expired loh.” Seorang tetangga mengomentari putri saya yang belum disapih meski usianya sudah 2,5 tahun.
“Jangan dikasih lagi meski minta, kan asinya sudah tidak ada gizinya lagi. Beliin susu saja supaya anaknya juga belajar mandiri.” Ini komentar seorang teman jarang ketemu yang kebetulan melihat saya di restoran yang sama dengan tempatnya menyantap makan siang di suatu hari yang terik. Padahal, saya sama sekali tidak membicarakan masalah asi.
“Wah, sudah gede harusnya sudah stop. Nanti bodoh loh anaknya. Coba deh baca di Google.” Unwanted komen dari supir taxi online saat mengantar saya dan putri saya pulang sekolah. 

Barangkali pernah mendengar komentar-komentar serupa? Saya sering sedih mendengar nasehat-nasehat berdasar mitos yang menyakitkan seperti itu. Saya sih maklum jika pernyataan senada datang dari mbah buyut saya yang jika beliau masih hidup, mungkin sekarang usianya sudah 100 tahun. Saya juga bisa memaklumi jika pernyataan tadi dilontarkan oleh mbah saya yang pernah merasakan hidup di era penjajahan belanda. Saya juga masih bisa maklum jika yang berkata demikian adalah penduduk paruh baya dari kampung terpencil, dimana penduduknya rata-rata kurang berpendidikan.

Nyatanya, yang komentar seperti itu adalah seorang teman yang sarjana, modern dan berada. Saya juga heran mengapa ia menyamakan asi dengan makanan kaleng yang ada expired date-nya. Atau menganggap asi sudah tidak bergizi lagi setelah anak berumur dua tahun, padahal jelas-jelas dokter anak langganan saya mengatakan bahwa Asi boleh dilanjutkan selama mungkin sampai anak menyapih dirinya sendiri. Tidak hanya dokter anak, bahkan susu formula dan susu pertumbuhan pun dengan jelas menuliskan bahwa susu formula bukan pengganti asi dan menganjurkan untuk melanjutkan asi selama mungkin. 



Yang paling membuat saya panas, tentu komentar dari supir online taxi yang mengatakan bahwa asi membuat anak menjadi bodoh. Malah menyarankan saya membaca di google, pula. Saya marah tapi saya mencoba meredam kemarahan. Pertama, saya ingin menghindari keributan yang tidak perlu dengan supir yang tahu segalanya ini, sedangkan jarak menuju ke rumah masih jauh. Kedua, mendebatnyapun rasanya tidak ada faedahnya untuk saya. Jadilah selama perjalanan saya memilih diam saja padahal hati saya gondok luar biasa.

Tahukah mereka, bahwa selama sebelum hamil, entah berapa banyak buku-buku mengenai ibu dan anak yang saya sudah habis saya lahap. Berapa banyak dokter yang sudah saya datangi untuk berkonsultasi. Berapa banyak artikel kesehatan yang sudah saya baca bahkan saya catat di buku catatan. Dan dengan tanpa beban seseorang menyarankan saya untuk membaca di google. Saya bisa saja membalik statement bapak itu dan menantangnya untuk mencari artikel ilmiah di google yang menyatakan bahwa asi membuat balita menjadi bodoh. Feel like saying, hpnya pintar tapi pemiliknya kok...?

Jika ada dari anda para pembaca yang juga mengalami hal yang sama, dinasehati berdasarkan mitos, anda tidak sendirian. Banyak dari masyarakat kita yang ternyata belum terdukasi secara baik mengenai breasfeeding dan lebih mempercayai mitos-mitos yang sudah dipercayai turun temurun. Padahal banyak artikel kesehatan yang bisa dibaca gratis di google. Banyak aplikasi bidang kesehatan semacam halodok yang memberikan artikel edukasi bidang kesehatan dengan berbagai topik dan lagi-lagi bisa dibaca secara gratis. Hanya saja kemauan untuk membaca yang masih kurang. Ini bukan hal yang mengejutkan sebetulnya, karena literasi masyarakat Indonesia memang masih rendah. Silahkan mampir ke portal berita online yang judulnya ada klikbait, dan silahkan baca komentar-komentar ‘kebakaran jenggot’ di bawahnya. Tapi itulah kenyataannya, artikel utuh seringkali hanya dibaca judulnya saja. 

Sebaliknya bagi anda yang suka sok memberikan nasehat, please riset atau minimal membacalah terlebih dahulu. Jangan sampai memberikan nasehat yang berdasar mitos atau katanya, jika tidak tahu sumbernya, atau dasar pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan. 

Jangan memberikan nasehat jika lawan bicara tidak meminta. Please please please, mind your own bussiness. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar