Tobat Menjadi Putih

By Anna - June 16, 2020

Sejak dari kecil, kulit saya sudah gelap. Bukan, bukan karena saya suka bermain panas-panasan di luar ruangan, namun memang kulit saya sudah gelap sejak lahir. Ibu saya berkulit kuning langsat, sedangkan bapak berkulit sawo matang gelap. Sudah tentu kulit saya yang gelap ini adalah 'pemberian' dari gen bapak saya. 

Mulanya saya tidak merasa ada yang aneh dengan kulit gelap saya. Saya bermain dengan anak sebaya di lingkungan sekitar rumah, dan pergi ke sekolah bersama-sama. Namun at some point, warna kulit saya menjadi momok yang menghantui hidup saya selama bertahun-tahun karena salah seorang teman mengejek saya dengan sebutan 'item'. Sejak saat itu, teman-teman yang lain mulai ikut-ikutan mengejek bahkan memanggil saya item. Beberapa menyebut saya 'celeng', yang dalam bahasa Madura artinya hitam. 

*Photo credit: Unsplash

Berangsur-angsur, rasa percaya diri saya hilang karena sebutan yang menyakitkan itu, dan saya mulai membenci warna kulit saya.

Saya selalu iri melihat teman-teman saya yang berkulit cerah. Sepertinya, pakaian berwarna apapun akan terlihat bagus karena 'background'-nya cerah. Sedangkan saya tidak memiliki banyak pilihan, sebisa mungkin memakai pakaian berwarna gelap atau hitam sekalian untuk membuat ilusi supaya kulit saya terlihat satu tone lebih  cerah. Bukannya mereda, teman-teman malah dengan sengaja mengatakan bahwa saya 'tidak terlihat' karena serba hitam. Saya sedih luar biasa. Saya sampai menutup diri dan berusaha menghindar karena takut dengan sesi membanding-bandingkan warna kulit. Saya sangat membenci hal itu!

Diam-diam, saya mulai memperhatikan iklan pemutih yang saat itu selalu tayang di Televisi. Saya rela kelaparan di sekolah karena uang saku saya tabung untuk membeli sabun dan cream pemutih. Saya masih SMP saat itu, uang saku saya hanya 500 rupiah, sedangkan harga sabun pemutih paling murah seharga 10ribu saat itu. Meskipun penuh pengorbanan, saya membelinya dengan keyakinan bahwa setelah ini saya tidak akan diolok-olok lagi. 

Saya sungguh naif karena menjadi korban iklan. Sabun pemutih yang 'katanya' bisa memutihkan kulit itu tidak berhasil membuat kulit saya cerah meskipun hanya satu tone. Tapi saya tidak menyerah. Saya menabung lebih giat, untuk membeli produk pemutih lain. Tapi lagi-lagi, saya harus gigit jari karena tak satupun yang berhasil.

Insecurity karena warna kulit masih membayang-bayangi hidup saya hingga saya lulus sekolah menengah atas dan bekerja. Hingga suatu hari saya bertemu seorang pria yang dengan tulus mengatakan  ia menyukai tone kulit saya karena terlihat sehat . Pria ini yang kemudian memenangkan hati saya dan menjadi suami saya. Mulanya saya hanya mencibir dan menganggapnya hanya omong kosong dan menghibur saya semata. Saya bercerita banyak padanya bahwa saya sangat insecure dengan warna kulit saya, termasuk bullian dan hinaan yang saya terima sejak kecil. Ia dengan serius mengatakan bahwa saya seharusnya berbangga diri karena warna kulit saya dianggap eksotis dan cantik di negara barat dimana ia dibesarkan. Namun, saya tetaplah keras kepala. Standar kecantikan yang mendarah daging sejak saya kecil adalah kulit yang cerah itu cantik, sedangkan kulit gelap tidaklah cantik.

Tahun 2010 silam saya mulai bekerja di salah satu hotel di Bali dan mulai banyak bertemu dengan berbagai orang dari belahan dunia lain. Ada yang kulitnya putih, putih sekali, agak pink, pink dan berbintik-bintik, agak gelap, gelap sekali hingga hitam legam. Saya jadi bisa menilai memang ternyata kulit putih itu banyak jenisnya dan tidak semuanya cantik seperti yang dulu saya pikirkan. Saya jadi teringat dengan kalimat suami saya yang mengatakan bahwa kulit gelap itu terlihat sehat, karena memang kenyataannya kulit orang asing yang kelewat putih terlihat sangat pucat dan jadi kurang menarik. Mungkin karena melihat orang-orang yang demikian setiap hari, ditambah tidak ada lagi teman-teman di Bali yang membanding-bandingkan warna kulit, kepercayaan diri saya perlahan membaik dan saya mulai belajar mencintai warna kulit saya.

Meski sudah mulai bisa menerima warna kulit saya, ternyata saya masih juga merasa beruntung karena suami saya memiliki warna kulit yang selalu saya impikan. Saya masih sering mengatakan padanya bahwa saya iri dengan warna kulitnya, dan ia selalu membalas bahwa ia akan sangat senang jika memiliki warna kulit saya sehingga ia terlihat macho. Sayangnya, selama di Indonesia suami hobi sekali menyapu jalan perumahan dan cuek saja naik motor tanpa mengenakan jaket, sehingga warna kulitnya yang saya sukai itu berangsur menjadi belang dan sebagian agak gelap. Meski demikian, ternyata kulitnya yang macho itu bisa luntur juga setelah 6 bulan pindah ke Sydney yang dingin. Ia selalu mengatakan kangen sekali dengan Bali, selain keluarga, ia kangen bisa naik motor lagi kemana-mana  supaya kulitnya kembali menjadi gelap.

Sejak menikah, saya memutuskan untuk berhenti menjadi 'putih'. Saya menyebutnya tobat menjadi putih. Dengan kondisi finansial yang jauh lebih baik dibanding dengan saat saya masih SMP, plus dengan kecanggihan produk pemutih berbagai merk yang bisa dengan mudah ditemukan dimana-mana dan dengan efek yang begitu luar biasa, saya malah tidak lagi tertarik untuk membeli dan mencoba. Mungkin karena lingkungan dimana saya tinggal tidak pernah mempermasalahkan warna kulit saya atau menjadikannya sebagai ajang perbandingan, dan support dari suami saya yang selalu meyakinkan saya bahwa kulit saya cantik sehingga saya menjadi percaya diri tampil apa adanya.

Saya kira hanya saya yang berkulit gelap saja yang merasa insecure dan merasa perlu menggunakan produk pemutih untuk 'menyamakan' warna supaya tidak dianggap berbeda, ternyata banyak orang-orang di lingkungan sekitar saya yang berlomba-lomba menjadi 'putih' hingga di tingkat yang saya anggap tidak wajar. Deskripsi 'putih' yang selama ini saya idam-idamkan adalah di tone 'kuning langsat', namun beberapa orang sekitar yang saya kenal malah suntik putih hingga putihhh sekali. Fenomena ini ternyata mengherankan seorang teman lama saya yang bekerja di kapal pesiar selama bertahun-tahun. Pertama kalinya pulang ke Bali setelah sekian lama, ia shock karena cewek Bali sekarang hampir tidak ada yang berkulit gelap!

Tidak ada salahnya berkulit gelap, tidak salah juga berusaha menjadi terlihat cantik dengan menjadi putih. Yang salah hanyalah membanding-bandingkan warna kulit dan menganggap rendah warna tertentu. Saya jadi teringat dengan demo di seluruh dunia yang menyuarakan #blacklivesmatters. Memang tidak seektrim itu, namun ini nyata. Jangankan di dunia Internasional yang warna kulitnya bisa kontras sekali antara hitam dan putih. Bahkan di lingkungan saya yang sesuku saja, karena warna kulit, saya dianggap beda ‘kasta’. 


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar