Bule No English
By Anna - October 06, 2013
Sepanjang
pengalaman kerja saya di hotel di Bali, saya beranggapan bahwa turis asal Rusia
adalah turis muka bule yang paling tidak bisa berbahasa Inggris.
Ternyata eh
ternyata, seiring berjalannya waktu, saya mulai menemukan bule-bule lain yang
ngakunya dari negara terkenal di Eropa tapi sama sekali gak ngerti bahasa
Inggris. Saya sampai nganga tidak percaya, melihat passport mereka yang sedang
saya pegang sehabis difotokopi. Dulunya sih, saya mengira orang Eropa itu
kesemuanya berbahasa Inggris meskipun bahasa Inggris bukan merupakan bahasa nasional.
Saya ada teman dari Perancis yang bahasa inggrisnya tidak begitu lancar. But
at least, bisa bahasa Inggris, kan? Kalau pernah nonton film Habibie &
Ainun, perhatikan saja percakapan antara Habibie dengan orang-orang Jerman.
Orang Jerman lebih suka memakai bahasanya sendiri ketimbang memakai bahasa
Inggris. Salah satu tamu saya yang dari Jerman juga bisa berbahasa Inggris
meskipun aksennya sedikit aneh. Salah satu rekan saya punya pacar dari Swedia
dan bahasa inggrisnya juga patah-patah. *Ini ngomongin bahasa atau ngomongin
goyang dangdut, sih?
Kalau orang
Rusia sih, saya sudah mulai maklum. Kalau dilihat dari sejarah pada saat dunia
masih suka perang, long..long time ago, Rusia itu musuhan sama Amerika. Paham yang
dianutpun berbeda. Amerika negara Liberal sedangkan Rusia komunis. -Salah satu
ciri negara komunis ya, nasionalis sekali. Termasuk bahasa. Saya dengar, bahasa
Rusia adalah salah satu bahasa tertua di dunia yang juga merupakan salah satu
yang paling sulit dipelajari-. Mungkin karena itu, mereka tidak mau mengenal
(atau mungkin tidak diperbolehkan?) mempelajari bahasa Inggris, yang notabene
musuh berat mereka. Pssstt.. jangan menjadikan ini sebagai acuan karena ini
hanya pendapat saya pribadi dan tidak ada hubungannya dengan pelajaran sejarah.
*)Kalau ada yang tahu mengenai alasan yang lebih jelas, boleh juga share di
sini.
Nah nah nah,
balik lagi ke topik semula. Jadi ini tadi ceritanya ada dua orang tamu warga
negara Perancis yang walk in, alias check in tanpa reservasi. Mulanya karena
mukanya bule, saya cuek nerangin hotel facilities panjang lebar dengan bahasa
Inggris, mulai dari restaurant yang kami punya, bar, night club dan swimming
pool lengkap dengan jam buka tutupnya sekaligus promosi happy hour, fasilitas
yang ada di kamar, library, gym, sampai internet access. Sampai si bule mukanya
berubah bingung dan bilang,
“Sorry I don’t
understand.”
Lah? berarti
percuma dong dari tadi saya ngomong ampe berbusa?
“Which one that
you didn’t understand, Sir?”
Si bule mulai
geleng-geleng.
“Sorry No
English. I am France.”
Mampus. Ini
orang beneran gak bisa ngomong Inggris. Lah saya blas gak bisa bahasa Perancis.
Gimana dong?
Saya bingung
mau ngomong apaan, sementara mereka berdua lagi diskusi, tentu dengan bahasa
Perancis yang saya tidak mudeng sama sekali. Tiba-tiba si bule cowok ngambil
tas kecil dan cuek membukanya di atas konter saya dan… bergepok-gepok seratus ribuan
rupiah meluncur begitu saja di atas konter.
“Pay? Pay?” katanya.
Lah? bikin
reservasinya aja belum kok udah pay? Sebelum terjadi pendarahan otak,
sayapun berinisiatif untuk mengklarifikasi booking status terlebih
dahulu.
“Stay one night
only?” Udah, gak
ngurusin grammar. Ngomong ngawur gini aja entah dia ngerti entah enggak,
kok.
“Hah?
Noooo..” Katanya. Nah lo? Saya bilang juga apa!
“Ok, today is
16,” Saya ngambil
kalender dan ngasih lingkaran gede.
“You check
in 16, check out tomorrow, 17. Ok?”Saya ngambil stabillo ijo terang untuk
menggambar lingkaran di kalender. Mudah-mudahan dia ngerti.
“Noooo… check
in one six, check out two six.” Katanya sambil merebut stabillo saya dan melingkari sendiri tanggal
di kalender itu.
“So, you stay
10 nights?” Saya
terbelalak sambil kesepuluh jari saya terangkat di udara, memastikan si bule
benar-benar mau tinggal sepuluh hari. Jarang banget ada tamu yang walk in
dan langsung long stay. Saya jadi ragu-ragu. Bukan saya meremehkan,
hanya takut ada kesalahpahaman nantinya. Karena kendala bahasa yang kurang
dimengerti oleh masing-masing pihak.
Si bule
menghitung-hitung pakai bahasa Perancis, membuka satu persatu jari-jarinya.
Mirip murid taman kanak-kanak yang sedang belajar berhitung. Lalu bengong
sebentar. Diskusi sama istrinya. Bengong lagi. Saya jadi mengantuk, tiba-tiba
ingin menguap.
“Yes yes yes,
ten day!” katanya
mengagetkan saya yang baru saja mau menguap. Duh, ngagetin aja!
“Pay how much?” tanyanya.
Kalau yang
begini saya udah biasa handle. Tak usah bingung-bingung gimana
ngomongnya. Pakai ilmu yang saya dapat dari pedagang pasar malam di Thailand.
Pakai kalkulator!
Sayapun
mengetik angka 200 di kalkulator dan saya tunjukkan ke dia.
“two zero zero
dolar.”
“Oh… two ou ou.” Dia bengong sejenak. Mau dua nol kek, mau dua o kek, gak masalah.
Yang penting deal!
“Rupiah?” tanyanya lagi. Sayapun dengan sigap mengalikan 200 dengan bookkeeping
rate* saat itu. Totalnya jadi dua juta rupiah, untuk rate per malam saat
itu.
“OK!” katanya setengah teriak, kembali ngagetin saya.
“Ok, so ten
days is 20 milion ya?”
Sekali lagi, make sure kalo si bule mengerti bahwa dua puluh dolar itu harga
per kamar. Eh, dia bengong lagi. Sayapun kembali pakai jurus pedagang Thailand.
Mengalikan angka di kalkulator dengan
10.
“Ten days.” Saya meyakinkan kembali.
“Oh yes. Ok.” Katanya. Tuh kan, jurusnya ampuh juga ternyata.
Tanpa banyak
bicara, si bule ngeluarin lagi bergepok-gepok duit ratusan ribu dari dalam
tasnya. Buset, itu beneran duit! Lalu menghitungnya satu per satu.
Dipisah-pisahin duitnya masing-masing per sepuluh lembar dan dengan cueknya
digelar begitu saja di atas konter. Gila, ini duit man, bukan jemuran!
Proses
pembayaran selesai. Saatnya mengantarkan tamu ini ke kamar. Sayapun kikuk
sendiri membayangkan betapa susahnya menerangkan ke mereka tentang fasilitas
hotel yang (menurut standart) memang harus diterangkan satu persatu. Ah..
tiba-tiba saya ada ide. Saya bawa tamu ini keliling hotel. Pertama, saya ke
restoran terdekat.
“This is
restaurant for breakfast. Open 6 to 11.” Saya memberi kode dengan jemari tangan.
Si bule
mengangguk-angguk. Mengerti? Entahlah.
Saya bawa ke
bar dan swimming pool masih dengan kode yang sama dan so far baik-baik
saja.
Sampai di
kamar, belum juga saya mempersilahkan mereka masuk, si bule sudah masuk duluan.
“Ok, thank you,
thank you.” Katanya.
Saya bengong.
Ini tamu aneh banget. Pertama, mereka main masuk saja padahal saya belum sempat
memepersilahkan. Kedua, kuncinya masih ada di saya. Kunci itu fungsinya selain
sebagai pembuka pintu kamar, juga harus dimasukkan ke dalam slot electricity
untuk menghidupkan seluruh listrik di ruangan itu. Mau saya ketok pintunya,
saya kok merasa tidak enak. Tiba-tiba pintu kembali terbuka, dan si bule
Perancis langsung merepet panjang.
“
%$&%^%&()*^%$@#@ bla.. bla..
bla..” sembari telunjuk kanannya menunjuk-nunjuk lubang AC.
Saya masih
bengong.
“…%^&#%@^&
bla.. bla.. bla… “ sambil telunjuknya menunjuk lampu dan TV.
Saya nyengir.
Ini bule palingan dia mau bilang kalau AC, TV dan lampunya gak nyala. Ya
iyalah, orang kunci juga masih saya pegang!
Saya lalu
memasukkan kunci pintu ke slot listrik. Klek. Byar!!! Lampu, AC, dan TV
otomatis menyala semua.
“Ah..
good..good.. good.. Thank you, thank you.” Katanya girang.
Saya tepuk
jidat. Ah, tamu yang aneh...
0 komentar