Mulutmu, Harimaumu

By Anna - July 09, 2013

Saat sedang senggang, salah satu kerjaan saya dan teman-teman lain untuk mengisi waktu adalah ngomongin orang.
Akuilah, ngerumpi dan ngomongin orang itu sudah jadi satu paket dan sudah membudaya. Tak hanya kalangan perempuan loh, teman saya yang laki-lakipun doyan ngerumpi. Bahkan, manager saya sekalipun!

Ceritanya saat itu salah seorang manager saya sedang stand by di belakang meja receptionist ketika sepasang bule nenek-nenek dan kakek-kakek datang.
I passed through this location and accidentally saw your hotel. It is very lovely. I’d like to see what do you have, for our reference for next holiday. It will be lovely if we could see your room as well.”
Rupanya mereka ingin melihat kamar. Kebetulan sekali hotel sedang sepi, jadi kami ada waktu untuk hotel tour, membawa mereka melihat-lihat kamar dan fasilitas hotel lainnya seperti swimming pool, restaurant, gym, dan spa.
Saya baru saja mau membuatkan kunci kamar, ketika Soni, salah seorang teman receptionist malah menawarkan diri untuk mengantar.
“Daripada bengong. “ Katanya.
Ya sutralah.

Sayapun sibuk ngerumpi dengan manager saya sampai pasangan nenek-kakek tersebut kembali ke lobby. Teman saya mendatangi saya, meminta secarik kertas berisi guest detail untuk diisi oleh pasangan tersebut.
Tiba-tiba, manager saya nyelutuk,
“Itu nenek-nenek ama kakek kakek ngapain, Son?”
“Mau booking kamar. “
“Ahahaha… mau bulan madu kali ya?” Manager saya terkekeh. Soni diam.
Saya merasa ada yang tidak beres…
Sampai Sonny kembali dari mengantar mereka dan bilang,”Pak, kenapa juga bapak ngomong gitu pas mereka nulis guest detail? Mereka bisa bahasa Indonesia loh!”
“What???!!!”
Nah, lo? Manager saya langsung pucat pasi.

Kapok? Enggak tuh. Namanya juga sudah membudaya, kami jadi berkaca dari pengalaman itu, bahwa bule di Bali itu sudah banyak yang bisa bahasa Indonesia karena sudah kelamaan atau keseringan tinggal disini dan banyak bergaul dengan orang lokal. Jadilah, bahasa Indonesia kami hindari. Alternatifnya pakai bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa. Kebetulan sesama rekan kami yang front office, ada tiga orang yang dari Jawa. Dua orang dari Semarang, dan saya dari pelosok Jawa timur. Rasanya senaaang banget bisa blak blakan ngomongin orang tanpa khawatir orang tersebut mengerti apa yang kami bicarakan. Jangankan tamu, rekan kerja kami yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai suku seperti Sunda, Bali, dan Batak juga bête kalau kami sedang keceplosan ngomong pakai bahasa Jawa padahal sedang briefing! Sebagian ada yang merasa tersinggung karena dikiranya kami sedang ngerumpiin dia! Entahlah, rasanya mulut ini tersetting otomatis akan switch ke bahasa Jawa kalau saya mau ngomong dengan teman saya yang orang Jawa, sama halnya ketika berhadapan dengan tamu saya yang bule, saya akan otomatis switch ke bahasa Inggris, atau langsung nyerocos pakai bahasa Indonesia kalau mau ngobrol dengan teman beda suku.

Sampai suatu hari kami memperhatikan seorang pria bule segede gaban menggandeng seorang cewek Bali yang kurus sekali. Keduanya masuk area lobi dan langsung duduk di sofa membelakangi kami, tak jauh dari konter reception. Hasrat ngomongin orang tiba-tiba muncul begitu saja, dan bertanyalah saya kepada Soni.
“Son,  awakmu milih endi, duwe pacar sing lemu opo sing kuru?” (Son, kamu pilih yang mana, punya pacar yang gemuk apa yang kurus?)
“Sing kuru ae Ann.” (Yang kurus aja Ann)
“Opo’o?” (kenapa?)
“Ngirit ban! Hahaha..”
Kamipun ngakak sama-sama. Sampailah seorang pria bermuka Jawa menghampiri saya dan bertanya,
“Mbak, ada kelihatan mister Joko disini?”
Saya bengong pandang-pandangan dengan Soni.
“Mister Joko? Aneh banget namanya.” Kami lanjut ngakak.
“Iya. Tadi katanya kesini mau minum sebantar di café. Cafenya di sebelah mana, ya?”
Saya menujuk ke lounge di lobi yang hanya dibatasi tangga. Saya lihat hanya ada dua orang yang sedang duduk di sana, si gendut dan si kurus! Dan si pria muka Jawa yang sepertinya seorang guide itu menuju ke sana.
Saya langsung telepon extension lounge tersebut untuk memastikan.
“Itu yang sedang duduk-duduk di sofa merah itu atas namanya siapa ya mbak?”
“Mister Joko mbak. Lucu ya, muka bule tapi ngomong pakai bahasa Jawa.”
Jegeeeerrrrr!!!!! Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Mampus!

Saya lihat guide tadi ngobrol sebentar dengan mister Joko lalu bergegas pergi. Mister Joko dan ceweknya beranjak dari café lalu malah duduk di sofa yang letaknya paling dekat dengan konter reception sehingga  sayapun mendengar percakapan mereka,
“Kok suwe? Mobile diparkir nangendi to karo pak supir iki.” (kok lama ya? Mobilnya diparkir dimana sih sama pak supir ini?” Kata si mister Joko.
“Ngarepe circle K. Macet paling.” (Di depan circle K. Mungkin macet)
Gubrak! Ampuuuunnnn… ternyata si cewekpun orang Jawa!!!

Saya dan Sonny langsung mematung berpandang-pandangan. Dan seperti dikomando, kami langsung pura-pura sibuk dengan computer masing-masing. Sonny pura-pura mengetik dengan hentakan keyboard yang nyaring, sedangkan saya pura-pura menelepon housekeeping dan ngobrol garing.

Begitu si guide Jawa -yang ternyata adalah driver mereka- datang dan membawa mereka pergi, saya dan Sonni langsung ngakak  dan berguling-guling. Apeeesss… apes! Untung saja kami tidak dilabrak. Sejak itu, kami benar-benar kapok ngomongin orang lagi!


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar