Tulisan
ini dimuat di Jawa Pos for Her, her Journey, 2 Juli 2013
Eksotisme
kegarangan merapi; Nikmati pemandangan yang kontras
Wisata
ke Jogjakarta hampir selalu monoton. Kalau tidak ke Keraton, turis lokal maupun
mancanegara hampir bisa dipastikan berkeliling memuaskan keinginan berbelanja
di Malioboro. Tak banyak yang menjajal rute baru. Mengunjungi kawasan gunung
merapi dan sekitarnya, misalnya. Padahal, pemandangan di sana tak kalah
menawan.
Pertengahan
Agustus 2012 lalu, HRD manager menyampaikan internal memo mengenai pengambilan
cuti tahunan. Supervisor saya member saya cuti total tujuh hari. Enggan tinggal
di rumah saja, saya menelepon teman jalan saya, Taki, yang masih bekerja di
Kuala Lumpur. Dari hasil diskusi singkat, kami sepakat untuk menghabiskan
liburan ke Jogjakarta.
Satu
tempat yang menjadi jujukan kami adalah Kaliurang. Mencari hotel untuk ke
Kaliurangpun menjadi seni tersendiri. Di situs booking membooking hotel online,
sangat jarang ada yang menampilkan hotel di Kaliurang. Akhirnya, kami berhasil
juga menemukan juga hotel bagus yang “nyempil” di sebuah desa. Cangkringan
villa and Spa, namanya. Ternyata, villa yang terlihat tersembuny dip eta itu
benar-benar “nyempil” keberadaannya.
Sopir
taksi kami yang orang lokal saja dibuat berputar-putar selama dua jam.
Hikmahnya, kami bisa melihat banyak hal. Sawah-sawah hijau, bukit yang
menjulang sebagian rumah, serta wilayah yang rusak karena muntahan merapi.
Perjuangan
selama tiga jam akhirnya berlalu. Kami sampai di lokasi tersebut dan takjub.
Tepat di sebelahnya ada merapi golf. Yang membuat saya takjub, kawasan ini
terkena langsung dampak merapi. Tapi saat saya kesana, terkesan tidak pernah
terjadi apa-apa.
Saat
check in, kami ditawari tur ke merapi seharga Rp. 400ribu oleh resepsionis hotel.
Karena penasaran, kami setuju untuk ikut. Tur dimulai pukul 5 pagi keesokan
harinya. Sekeliling masih gelap ketika kami berangkat.kami dijemput kendaraan
semacam jip dan touring off road selama lebih dari tiga jam.
Mulanya
kami mengira kami akan dibawa ke hutan, atau ke spot-spot indah yang manarik
untuk difoto. Tidak tahunya, kami dibawa ke jalanan sempit berbatu. Semakin
naik ke atas, semakin gundul. Ketika memasuki wilayah merapi, pemandangan
sekitar yang sebelumnya hijau berganti cokelat dan abu-abu. Pepohonan kering
kerontang, debu beterbangan, dan puing-puing rumah yang terbakar terlihat jelas
di depan mata.
Kamipun
sampai di tepi sebuah jurang. Di depannya terhampar sungai pasir yang lebar.
Guide kami menerangkan, dulunya itu adalah sungai yang diterjang Merapi.
Material Merapi yang menumpuk di sungai tersebut yang membuat kering sungai
itu. Jika hujan turun, tentu sangat berbahaya karena lahar dingin sewaktu-waktu
mengancam.
Hari
beranjak terang. Guide membawa kami ke batu Alien, sebuah batu besar dengan
wajah mirip alien. Kamipun berjalan kaki karena mobil tidak bisa lewat. Lautan
pasir berundak dengan hiasan batu beraneka ukuran ditengah, diselingi jurang
dan bukit kecil tumpukan material merapi.
Di
sisi kanan dan kiri, terhampar pemandangan yang kontras. Hutan hijau dengan
sedikit warna putih dari pohon-pohon yang mati bagaikan menghidupkan lukisan
alam itu. Warna matahari semburat dari sisi kiri landskap tersebut, membingkai
merapi dengan gagahnya berdiri menjulang di tengah-tengah. Merapi memang
menghancurkan segalanya, namun bekas-bekas jajahannya meninggalkan pemandangan
yang tak kalah indah.
Saatnya
pulang. Sopir kami rupanya tidak membawa kami melewati jalan yang sama. Kami
dibawa memutar, turun ke sungai pasir, menjajaki jalanan berbatu dan melewati
tebing curam. Sesekali ada atraksi. Mobil dijalankan berputar 360 derajat di
kubangan pasir setinggi hampir tiga meter dengan kemiringan 45 derajat. Kamipun
berteriak-teriak antara takjub, ngeri dan tegang.
1 komentar
mb dapat apa ngirim for her journey dari redaksi? saya juga pernah dimuat tapi kok g dapat apa apa hehhe
ReplyDelete