Kalau
sedang makan di restaurant, pernahkah anda memperhatikan rincian bill yang
harus anda bayar? Seringnya di bill ada tambahan sekian persen service dan 10%
tax. Pernahkah anda bertanya-tanya biaya apa itu dan kenapa ditagihkan kepada
customer?
Government
tax atau PPN atau pajak pertambahan nilai atau kalau di dunia hospitality
industry istilahnya VAT amount (value added tax) adalah jenis pajak langsung
yang dikenakan atas transaksi penyerahan barang dari produsen kepada konsumen.
Umumnya kalau di restaurant besarannya 10% sedangkan untuk hotel 11% meskipun
beberapa restaurant fine dining juga pajaknya 11%. Saya kira sudah banyak yang
tahu mengenai PPN ini. Nah, bagaimana dengan service charge? Besaran service
charge juga bervariasi tergantung penyedia jasa. Umumnya di restaurant yang
biasa saja tidak ada service charge. Di restaurant terkenal umumnya ada service
charge 5%, sedangkan di fine dining restaurant dan hotel, umumnya menambahkan
10% service charge dan dibebankan kepada customernya. Kalau dihitung-hitung,
penambahan tax and service bisa mencapai 21%. Nilai yang lumayan, bukan?
Semisal anda mengkonsumsi 1 dessert di salah satu outlet di hotel dan harganya
100ribu, maka total akhir yang harus anda bayar adalah 121ribu. Nah, kalau ada
tambahan appetizer dan main course? Belum lagi minumannya? Pas makannya si
enak, gilirannya harus bayar banyak yang kena stroke mendadak karena kaget
dengan jumlahnya.
Saya
banyak sekali menerima complain mengenai service dan tax ini. Sudah biasa dong
di website atau brosur hotel menampilkan
pricelist dengan harga yang menarik. Misalnya all you can eat BBQ dinner at
100K. Orang pasti mengasumsikan makan macam-macam panggangan sampai kenyang
dan bayar cuma 100ribu. Tamu saya makan berdua dan total yang dibayar sejumlah
1,5 juta rupiah dan bayar sambil ngamuk-ngamuk. Iya sih, memang si BBQ harganya
cuma 100ribu, tapi belum termasuk tax and service. All you can eat dan
bukan all you can eat and drink. Tamu ada order air mineral, jus, dan
cola tentu ada lagi tambahan harganya. Karena bawa pacar, supaya lebih romantis
tambah lagi deh order wine. Belum termasuk dessert dan tapaz (cemilan) lainnya.
Dan namanya juga sudah jadi budaya bule, BBQ tidak akan lengkap tanpa cocktail.
Paling murah harga cocktail paling standart adalah 120 ribuan. Pas bayar bill,
melongolah dia semelongo melongonya dan ngamuk-ngamuk karena merasa tertipu.
Saya
kira semua hotel di dunia memberlakukan aturan yang sama mengenai tax and
service ini, ternyata tidak. Di negara Asia tenggara umumnya memang menampilkan
harga ++ atau harga dasar tanpa service dan tax sehingga kalau tidak mau kena
stroke mendadak, cara paling aman adalah menghitung tambahan ++ nya terlebih
dahulu. Di Eropa, pajak yang dikenakan jauh lebih tinggi dari rata-rata pajak
kita, namun pricelist yang ditampilkan sudah harga nett, atau harga setelah
ditambahkan ini itu. Jadi, tak perlu mikir dua kali dan terjebak dengan
iming-iming harga murah tapi akhirnya bayarnya mahal juga.
Kalau
tax kan sudah jelas larinya kemana, nah bagaimana dengan nasib service charge?
Sesuai dengan namanya, service charge adalah nominal yang harus dibayar tamu
atas pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa, tapi bukan tip. Kalau di
restaurant, umunya service charge dibagi rata setiap karyawan, sedangkan di
hotel umumnya hanya segelintir orang saja yang ‘berhak’ mendapatkan service
charge ini.
Kerja
di hotel itu menurut saya ada ‘kasta’nya. Ini sih saya hanya iseng
menggolong-golongkan menurut pengetahuan saya sendiri dan tidak ada hubungannya
dengan level dan posisi dan sangat tergantung dari kebijakan masing-masing
management hotel. Kasta 1 golongan executive comitee, seperti departemen head
dan General manager. Kasta kedua adalah level Manager, senior team leader dan
supervisor. Kasta ketiga adalah karyawan biasa seperti saya, baik itu yang
kontrak maupun permanen. Kasta keempat adalah daily worker atau pekerja harian,
dan tentu saja trainee. Dari kelima golongan ini, hanya kasta kedua yang sudah
pasti mendapatkan service charge, sedangkan kasta ketiga tidak semuanya
mendapatkan service charge. Di beberapa hotel saya dengar hanya staff permanen
saja yang mendapatkan service charge. Beberapa hotel lain lagi memeberlakukan
hanya 50% service charge untuk karyawan kontrak. Kasta pertama tidak
mendapatkan service charge karena gaji dan tunjangannya sudah besar. Kasta
keempat tentu yang paling kasihan, karena mereka dibayar harian dan tidak
mendapatkan tunjangan apa-apa, sedangkan untuk trainee, jangankan service
charge, gaji pun seringnya tidak dapat.
Ngomongin
masalah service charge, saya kadang-kadang merasa ada ketimpangan sosial yang
mencolok antar kasta-kasta. Tentu yang saya bahas bukan kasta pertama dan
kedua, namun kasta ketiga dan keempat. Pekerjaan kami sama berat, -ibarat
permainan catur, kasta ketiga dan keempat adalah pion prajurit yang selalu mati
duluan-, namun di akhir bulan saldo rekening kami berbeda. Menyakitkan, memang.
Seing saya dapat komentar dari rekan-rekan yang daily worker, “ngapain
repot-repot, kan ada staff. Mereka dong yang seharusnya lebih bertanggung
jawab.” Jujur saya sedih dengan kalimat seperti ini. Bagi saya, ini artinya
sama saja mereka tidak ikhlas dengan apa yang mereka kerjakan. Tidak ada yang
namanya sense of belonging dengan pekerjaan. Terlepas mereka dibayar
harian atau dibayar bulanan, hak dan kewajiban sudah mereka sepakati kan saat
mereka menandatangani kontrak kerja? Jangan salah sangka. Saya juga pernah loh
berada di posisi sebagai daily worker waktu awal bekerja di hotel. Iri? Sudah
pasti. Tapi saya kerja berdasarkan apa yang sudah menjadi tugas saya. Mulanya
saya hanya seorang greeter atau penyambut tamu, saya terima penghasilan
yang saya dapatkan saat itu karena pekerjaan saya memang tidak beresiko
(meskipun teman-teman yang sudah senior dan menjadi permanent employee gajinya
4x lipat dibanding saya. Glek!) Sayapun berimprovisasi dan berusaha menunjukkan
diri supaya saya ‘dilirik’ untuk dipromosikan ke bagian lain yang sesuai dengan
skill saya dan sudah pasti mendapat service charge. Bukan, bukan dengan
‘menjilat’ atasan, saya ikuti training di departemen lain yang saya incar.
Tidak lama, hanya 1 sampai 2 jam saja sehari setelah tugas saya selesai. Di
hotel tempat saya bekerja, ada yang namanya cross training, atau training di
department atau section lain untuk menambah pengetahuan. Usaha saya sedikit
demi sedikit berhasil. Setidaknya saya mendapatkan pengakuan kompetensi dari
chief concierge saya (greeter masuk di section concierge di sini), saya juga
banyak memanen pujian dari departemen tempat saya training karena katanya saya a
fast learner dan adaptable. Terlebih lagi, setelah saya memenangkan kontes
pidato berbahasa Inggris, nama saya semakin dikenal di lingkungan hotel. I was
no one, then I tried mybest to show them that I deserved to be someone and I
proved it. Lalu, apakah promosi datang begitu saja? Tentu saja tidak. Lowongan
untuk menjajal peruntungan sebagai Guest relation memang ada, tapi ternyata ada
saja tangan-tangan asing yang berusaha menjegal. Entah apa yang ada di dalam tubuh
management dan apa yang mereka lihat, dedikasi saya kurang diapresiasi. Jadilah
saya incharge 3 bulan sebagai Guest relation dan status saya masih sebagai
daily worker. Lebih manyakitkan lagi, management merekrut orang baru dan
langsung dikontrak dan mendapatkan service charge. Saya sempat bertahan satu bulan. Karena tidak ada
perkembangan, saya memutuskan untuk langsung cabut dari hotel tersebut (karena
saya mendapatkan tawaran lain yang jauh lebih menggiurkan di hotel tetangga)
dan pamitan mendadak supaya kejutannya lebih berasa. Eh, ternyata saya malah
diajak duduk ngobrol empat mata oleh manager saya dan intinya akan ada tawaran
khusus untuk saya. Saya terima tawaran tersebut dengan alasan, pertama, saya
malas kalau harus memulai kembali belajar dari nol mengenai sistem hotel dan
segala tetek bengeknya. Hal kedua, saya sudah merasa nyaman di hotel tempat
saya bekerja saat itu dan rasanya sangat sayang untuk ditinggalkan. Ketiga,
lokasi tempat saya kerja ini sangat strategis, ke shopping mall tinggal jalan
kaki lima menit saja, kos-kosan melimpah ruah dimana-mana dan harganya murah.
Banyak warung disekitarnya sehingga tak perlu repot-repot kalau tiba-tiba lapar
melanda.
Selang dua bulan kemudian, ternyata tawaran yang
dijanjikan tak juga diwujudkan. Sayapun ngambek sengambek-ngambeknya dan memutuskan
untuk perang dingin. Saya apply di property lain yang satu management yang
kebetulan sedang ada vacancy di departemen yang saya geluti dan saya diterima
dengan mudah. Sayapun langsung mendapatkan service charge berikut asuransi,
annual leave atau cuti tahunan, dan berbagai tunjangan ini itu yang sudah
seharusnya menjadi hak saya.
Menjadi daily worker memang menyakitkan. Namun, saya
banyak belajar dari sana. Bahwa segala sesuatunya suatu hari akan berubah
asalkan kita mau memperjuangkan apa yang kita ingin dapatkan.
Adakah dari pembaca semua yang menjadi daily worker di
hotel?
Semangat ya guys, semua pasti ada jalannya.
Happy working J
2 komentar
3 tahun saya dikontrak kerja, tapi mulai bulan ini saya dan teman" semuanya jadi daily worker karena perusahaan yang sudah sekarat. saya sudah apply di hotel lain dan sudah probation satu hari. tapi yang saya dengar di hotel baru tersebut untuk dapat dikontrak haruslah menitipkan ijazah.
ReplyDeletemaka manakah yang harus saya pilih? tetap bertahan dengan perusahaan yang lama dengan status daily worker ataukah memilih di perusahaan baru yang mengharuskan menitipkan ijazah kepada perusahaan sebagai jaminan?
saya dapet kerjaan di hotel quest hotel surabaya sebagai reservation agent dengan status daily worker. meski baru daily worker saya berharap akan mendapat banyak pengalaman sebagai ilmu tambahan saya untuk miniti karir yang lebih bagus. tanggal 21 juli bulan ini baru akan mulai kerja. semoga keputusan yang saya ambil adalah baik. amiin
ReplyDelete