Lesson Learned
By Anna - January 30, 2013
H-9.
Ayu, Ria, Made, Komang, dan dua orang teman lain sepakat mengajak saya untuk
bersama-sama ke Bedugul minggu depan. Kabarnya, Bedugul itu merupakan area
pegunungan yang hijau, udaranya sejuk dan dingin, terdapat pura agung yang
merupakan pura terbesar dan menjadi “induk” pura-pura di seantero Bali. Ditambah
lagi, ada danau Beratan dan kebun raya yang tak jauh dari pura, semakin membuat
saya penasaran. Iseng, saya googling gambar-gambar Bedugul. Benar-benar cantik!
Saya semakin jatuh cinta dan tidak sabar ingin segera ke sana.
“Kalau
lagi musim hujan begini, pagi-pagi suka ada kabut turun. Udaranya jadi dingin
sekali. Jadi, jangan lupa bawa jaket ya.” Komang, salah satu rekan kami yang
asli Singaraja, Bali, mengingatkan kami semua.
Kabut?
Aaaahhh… romantisnya!
H-7.
Teman-teman sudah siap dengan segala sesuatunya. Schedule sudah direquest
jauh-jauh hari, dan sepertinya akan lancar. Paket tour sudah dipesan, dibayar
dengan dana dari iuran yang telah dikumpulkan sehari sebelumnya. Sengaja kami
ambil paket tour karena jatuhnya akan lebih murah daripada jalan sendiri. Saat
itu kebetulan ada harga promo paket untuk tujuh orang, dan dapat diskon 50%. So
far, persiapan kami beres sudah.
H-4.
Ria, salah seorang rekan kami mengundurkan diri karena keluarganya akan mengunjunginya ke Bali tiga
hari lagi dan akan tinggal selama seminggu. Praktis, Ria tak akan bisa
kemana-mana. Meski kecewa, kami tak bisa berbuat apa-apa. Ria bilang dia ikhlas
tidak jadi ikut dan ikhlas uang iuran yang sudah dibayarkan hangus begitu saja.
Sedikit melegakan kami semua karena tidak harus nambah uang iuran untuk menutup
budget. Ya sudahlah.
H-2.
Schedule yang sudah saya request jauh-jauh hari harus berubah! Saya gak jadi
dapat libur karena ada last minute group booking, rombongan dari India. Duh,
malesnyaaaa!!! Kenapa juga mendadak begini sih? Males pertama karena saya jadi
harus cancel rencana jalan-jalan saya. Males kedua karena harus handle tamu
India, artinya harus siap-siap makan ati. Bukan kenapa-kenapa, orang India itu
rata-rata banyak maunya tapi maunya bayar semurah-murahnya. Boro-boro ngasih
tip, bayar breakfast 50% buat anaknya (yang sebenarnya sudah kena full charge)
saja ogah! Mesti ngajak berantem dulu dengan staff sampai ke manager. Nightmare
comes true, gitu lah! Kenapa juga harus saya yang masuk? Kenapa bukan trainee
lain yang diminta masuk hari itu?
“GRO
full team. Tidak akan ada yang libur hari itu.” Penjelasan dari Bu Nia, GRO
manager saya semakin membuat saya senewen.
Mendengar
saya yang mendadak mengundurkan diri, tentu teman-teman yang lain jadi
kelimpungan. Mau diundur kok, semuanya sudah terbooking dan sudah full payment,
mana bookingannya unrefundable, alias uang yang sudah terbayar tidak bisa
diminta kembali! Maklum, harga promo. Travel agent jaman sekarang memang semakin
kreatif saja memainkan harga, pakai ikut-ikutan term and conditionnya
harga pesawat segala. Akibatnya, rencana liburan kami jadi berantakan. Kalau
mau ikut, artinya saya harus bolos kerja. Minta izin sepertinya tidak mungkin,
bu Nia bilang hari itu full team, yang artinya memang kondisi hotel lagi
ramai-ramainya dan mustahil minta libur. Mau gak ikut, saya rugi besar. Sudah
lima bulan di Bali, saya hanya muter-muterin Jimbaran-Nusa Dua-Kuta! Bisa
booking tour itu juga setelah susah payah mengumpulkan dolar demi dolar hasil
dari tip. Aduuuhh.. saya benar-benar gak rela dolar saya terbuang sia-sia!
“Pura-pura
sakit saja. Ke klinik dan minta surat dokter. Kalau alasannya sakit, pak GM
(General Manager) sekalipun juga bakalan maklum.” Ide brilian datang dari Made.
“Aku
kan seger burger gini. Dokter mana yang percaya kalau aku sakit?”
“Ya,
namanya juga pura-pura. Bilang saja sakit perut. Tinggal akting, beres! Mana
ada dokter yang bisa menganalisa sakit perut beneran apa jadi-jadian. Ya gak?”
Mmm…
bener juga sih. Masalahnya, saya bukan artis sinetron yang pinter akting
apalagi bohong. Kalau saya yang akting, pasti langsung ketahuan. Ini bahaya!
“Gini
deh, anak tetanggaku, Riza, kan lagi sakit. Kita bisa manfaatin dia Ann.”
“Manfaatin
gimana?” Saya jadi tambah bingung.
“Tinggal bawa dia ke dokter, pakai nama kamu.
Dia kan sakit, biar dia yang diperiksa, tapi surat dokternya atas nama kamu.”
Ini
baru ide bagus.
Kalau
masalah trik seperti ini, Made sepertinya lebih jenius.
H-1.
Riza bersedia bekerja sama dengan saya setelah saya sogok biaya pembayaran di
rumah sakit. Kartu registrasi sudah tertulis atas nama saya. Tinggal periksa,
minta obat, dan minta surat keterangan istirahat. Simbiosis Mutualisme,
nih. Riza sembuh, saya juga happy karena gak harus ketemu tamu India yang
tukang komplain itu, gak perlu berdebat dengan GRO manager minta libur yang
sepertinya impossible, dan saya juga
happy karena tour ke Bedugulnya gak jadi cancel.
Saya
menemani Riza memasuki ruangan dokter yang masih sepi pagi itu. Seorang dokter
setengah baya sedang memepersiapkan peralatan ketika kami masuk. Begitu menoleh,
pak dokter yang ramah ini segera menyapa kami. Saya lihat, wajah Riza semakin
pucat. Duh, kasihan. Riza sakit apa sih? Apa kalau lihat dokter penyakitnya
bisa jadi tambah parah, ya?
“Eh..
Riza kan ya? Sakit lagi?”
Loh
loh loh… ini dokter kok tau nama Riza sih? Perasaan saya jadi tak nyaman. Kartu
registrasi yang ada di pangkuan Riza bergetar sebentar. Duh, saya makin tak
enak. Belum akting masa sudah ketahuan, sih?
Belum
juga Riza sempat menjawab, pak dokter menyahut lagi.
“
Sebentar ya Riza, ada peralatan yang perlu saya ambil dulu di Lab. Saya tinggal
sebentar tidak apa-apa, kan?” Pak Dokter tersenyum sebentar dan hilang di balik
pintu.
“Kok
dokternya kenal kamu sih?” Cecar saya ke Riza sambil berbisik. Padahal juga
tidak ada siapa-siapa yang bisa mendengar pembicaraan kami.
“Itu
dokter klinik dimana biasanya aku periksa. Aku sakit typus dan suka kambuh.
Biasanya ke dokter Aldi ini. Saking seringnya ditangani sama dia, jadinya dia
kenal baik sama aku. Aku juga gak tahu kenapa dia bisa ada di sini.” Riza
melotot ke saya.
Duh..
gimana nih?
Dokter
Aldi kembali memasuki ruangan. Wah, ini sih di luar skenario awal. Saya pasrah
saja pas dokter Aldi akhirnya memberikan surat keterangan sakit atas nama RIZA
tanpa meminta kartu registrasinya. Rencana gagal total!!!
Hari
H. Pukul 9 pagi.
Saya
sedang berada di lobby utama the Grand Beach dan kesal setengah mati. Kesal
karena gak jadi pergi, juga karena group yang akan saya saya sambut sudah molor
lebih dari setengah jam dan gak datang-datang juga. Teman-teman mungkin sudah
hampir sampai Bedugul. Ah, siriknya…
Handphone
di saku celana saya tiba-tiba bergetar. Telepon dari Made. Saya langsung
ngibrit ke toilet supaya bisa leluasa menerima telepon.
“Sialan
bener sih ini travel Ann. Untung kamu gak ikut. Belum juga jalan sepuluh menit,
mobil udah mogok. Gak bisa dibenerin. Gak ada stok mobil lain. Gak ada solusi. Pak
Sopirnya juga stupid gitu sih. Gagal deh semuanya.” Belum juga saya
sempat bilang halo, Made sudah nyerocos.
“Terus,
gimana?”
“Gimana
apanya? Ya batal lah. Pihak travel balikin uang kita. Gak ada tanggung jawabnya
sama sekali. Mentang-mentang harga promo, kita dikasi mobil bobrok..”
Antara
senang dan sedih, saya tersenyum kecil. Aaahhh… leganya…
***
H+3.
Saya
sedang makan siang dengan Made di kantin ketika Christi dan Cinta datang. Ah,
dua staff The Grand Beach yang terkenal sebagai biang gossip. Bukannya aware
dengan tatapan mata kami yang mengisyaratkan ogah diganggu, Christi dan Cinta
malah meletakkan nampannya di meja kami dan mengambil kursi di depan kami
sehingga kami terpaksa duduk berhadap-hadapan.
“Tau
gak sih…” Si Christi sepertinya mau mulai bergosip lagi. Christi memang ngomong
ke Cinta, bukan ke saya atau Made. Tapi suaranya kan kemana-mana. Suka tak
suka, telinga kami mendengar juga celotehan ratu gossip ini. Kalau misalnya
gossip internal bisa dijual ke public dan dijadikan berita infotainment, sudah
tentu Christi dan Cinta jadi orang kaya baru sekarang.
“Apaan..?”
Cinta merespon berlebihan.
Duuuh..
gak banget, tauuukk…
“Tau
Hendra anak housekeeping kan? Dia dikeluarkan dari sini.”
Saya
dan Made berpandang-pandangan. Secara tidak sadar, menyimak berita yang
tumben-tumbennya menarik ini.
“Hendra
anak training itu? Dikeluarkan? Kenapa?”
“Mamalsukan
surat dokter.” Christi menjawab santai sambil menyuapkan sesendok nasi ke
mulutnya.
Saya
langsung tersedak. Berpandang-pandangan lagi dengan Made. Langsung merasa
tertampar dengan ucapan Christi barusan, dan jadi teringat kejadian empat hari
yang lalu. Apa jadinya kalau dokter Aldi tidak mengenali Riza? Apa jadinya
kalau ternyata kami ketahuan memalsukan identitas di surat dokter? Ahhh… saya
tidak berani membayangkan. Ternyata, rencana Tuhan itu jauh lebih baik daripada
rencana yang telah saya buat. Ah, untungnya…
0 komentar