Canteen Story

By Anna - July 23, 2020


Saya sering sekali ditanya teman-teman dari Jawa yang kebetulan mau main ke Bali, " Gak susah nyari makanan halal kan disana?" . Jawabannya jelas: mudah sekali. Di Bali banyak orang muslim, dan makanan halal mudah sekali didapat. Kalau pagi, pillihannya hampir sama dengan di Jawa. Ada bubur ayam, nasi pecel, hingga nasi campur. Tapi yang paling mudah ditemukan adalah nasi Jinggo (semacam nasi kucing kalau di Jawa) yang bisa dengan mudah ditemui di pinggir-pinggir jalan. Beberapa pedagang nasi Jinggo ada juga yang sekalian jualan nasi kuning. Isi lauknya ada ayam, telur atau ikan. Saya belum pernah ketemu nasi kuning pakai lauk babi.

 

Kalau siang hari lebih banyak variasinya karena banyak warung Bali dan warung Jawa yang buka. Warung Bali menjual berbagai macam masakan khas Bali seperti nasi campur Bali, aneka lawar, soto babi, ayam betutu dan lain-lain. Bagi yang muslim, warung Bali tentu bukanlah pilihan karena non halah, jadi pilihannya adalah warung Jawa dan Warung Padang. Entah kenapa dinamakan warung Jawa, mungkin karena pedangangnya orang Jawa dan yang dijual adalah masakan rumahan ala dapur Jawa, yang pastinya tidak ada babi. Saat malam, di Bali sama seperti di Jawa dimana banyak sekali orang berjualan nasi goreng, bakso, sate, mi ayam dan sebagainya.

 

Nah, bagaimana ceritanya dengan makanan karyawan di hotel?

 

Di hotel, para staff mendapatkan jatah makan sesuai shift yang biasanya disediakan di kantin karyawan.  Di hotel tempat saya terakhir bekerja, semua makanan dijamin halal karena katering luar yang bekerja sama dengan hotel adalah katering 'muslim' sehingga mereka memang tidak menyediakan makanan dengan lauk babi. Sewaktu masih kerja di The Grand Beach, karena karyawannya ribuan dan sekitar 60% karyawannya adalah orang hindu yang biasa makan babi, menu babi memang kadang-kadang disajikan meskipun tidak setiap hari, ditempatkan di wadah khusus dengan signage "Babi" di atasnya. Bahkan, ada salah satu staff katering yang ditugaskan untuk menjaga tray khusus tersebut dan mengingatkan orang-orang yang dicurigai ‘'non-hindu' namun masih nekat mau ambil lauk babi. Meski menyediakan babi di hari-hari tertentu, mereka tetap menyediakan lauk non babi bagi yang tidak mengkonsumsi babi.

 

Lain Bali, lain Surabaya. Kalau di Bali gampang sekali ketemu 'babi', di Surabaya yang mayoritas penduduknya muslim, saya jarang sekali ketemu babi, kecuali di restoran-restoran khusus yang memang menyediakan babi. Di hotel, menu yang sering disajikan di kantin karyawan biasanya ayam, daging sapi, telur dan ikan. Kadang-kadang, kalau 'chef' kantin sedang dalam mood yang bagus (karena beliau cemberut sepanjang hari- atau emang sudah pembawaan seperti itu?) kami bisa dapat udang atau cumi. 

 

Persamaannya, entah mengapa ya, rasanya kok makanan di kantin jarang ada yang enak. Kalau bukan karena menunya monoton, ya rasanya yang gak ngalor gak ngidul (terjemahan bebas; bukan ke utara, bukan pula ke selatan alias gak karu-karuan kata orang Jawa). Di rumah, sayur lodeh buatan Ibu tersayang itu ya sayur lodeh dengan aneka sayur dan pakai kuah santan. Tapi jika di kantin, yang mereka bilang sayur lodeh itu ya aneka sayuran berkuah kuning begitu saja pakai bumbu seadanya tanpa santan. Jadi bagi saya rasanya aneh. Soto ayam kalau di rumah ya rasa soto ayam. Kalau sudah di kantin hotel, penampakan sih soto ayam, tapi rasanya... ya gitu deh!

 

Saking tidak enaknya, kami sampai punya julukan untuk makanan tertentu yang kadar kelezatannya diragukan namun sering sekali kami temui di kantin. Berikut ini sebutan-sebutan yang membuat nafsu makan kami seketika buyar hanya dengan mendengar namanya :

 

1. Ayam fitness. Ini julukan buat ayam goreng super garing. Harusnya sih ayam garing itu enak ya? Tapi ayam yang satu ini saking garingnya, dagingnya hanya seuprit membalut tulang. Karena itulah kami menamakan ayam goreng jenis ini dengan nama ayam fitness. Karena kebanyakan fitness alias lari-larian dan kebanyakan latihan makanya ni ayam jadi kurus dan dagingnya alot. Duh!

 

2. Ikan terbang

Julukan ikan terbang (atau kadang-kadang disebut ikan Indosiar) dianugerahkan kepada sejenis ikan kering yang diiris melintang tipis dan digoreng sampai garing - saya tak tahu ya itu ikan aslinya namanya apa, yang jelas ini ikan rasanya hanya asin saja-. Kalau ada teman yang baru balik dari istirahat makan siang dan mukanya masih kucel, tak usah ditanya lagi "menunya hari ini apa ya?" pasti mereka langsung sewot dan bilang "Ikan terbang!"

 

3. Nasi Kucing

Bukan nasi kucing yang biasa dijual di warung angkringan pinggir jalan loh ya.. kalau ada yang bilang nasi kucing, di tempat saya artinya menu hari itu adalah ikan pindang. Bukan bermaksud menghina makanan atau apa, tapi biasanya kalau dirumah, pindang selalu identik dengan makanan kucing.

 

Jangan salah, makanan di kantin hotel itu sebenarnya bagus, loh. Nutricious alias berigizi dan setiap hari kualitas dan kebersihan selalu dikontrol oleh dokter yang bertugas di klinik hotel. Jadi ada nutrisionist yang secara khusus bertugas untuk mengecek gizi makanan di kantin. Hanya saja, entah mengapa, rasanya kok jarang ada yang enak.

 

Karena makanan di kantin yang (jarang) enak, kami lalu mencari alternatif pengganjal perut yang sekiranya lebih enak daripada makan siang di kantin. Alternatif paling gampang ya, bawa makanan sendiri dari rumah. Kalau mood masak kebetulan sedang bagus, saya suka iseng mencoba berbagai resep baru. Sampai di kantor biasanya teman-teman ada yang ikut nyicip. Itung-itung food testing, minta feedback dari teman-teman. Kalau feedbacknya kurang bagus, saya selalu minta saran kurang apa dan sebaiknya bagaimana, untuk improvement 'percobaan' selanjutnya. Kalau feedbacknya  bagus, lumayan juga sebagai motivasi tambahan untuk lebih rajin masak-masak sendiri di rumah. Salah seorang teman -namanya Detha, rekan saya yang punya bodi ABRI hati Barbie- bahkan bersedia membayar supaya saya mau membuatkan dia donat isi buat adik perempuannya! Sayapun nyelutuk, nge-charge dia dalam dollar. Eh, dia ho-oh ho-oh saja. Jadilah, saya punya pelanggan baru, penggemar masakan buatan saya, dan saya dibayar dalam dolar (meskipun ini dolar hasil dari tip dia sebagai Concierge). Yeay!

 

Meskipun demikian, karena kesibukan di rumah, saya jarang bisa masak lagi sehingga tidak bisa membawa makanan dari rumah. Mau beli di warung sebelum berangkat saya malas, karena ilfil dengan bentuknya yang (sepertinya) sudah tidak layak makan. Pernah, saya bungkus nasi padang dan saya bawa ke tempat kerja. Ternyata hari itu agak sibuk sehingga jam makan saya molor tiga  jam dari jam seharusnya. Nasi saya benyek saat dibuka, pembungkusnya yang dari kertas minyak itu basah dan saya langsung kehilangan nafsu makan membaui aromanya karena saat dibungkus, itu nasi padang masih panas, uap panasnya sudah mencair membasahi nasi dan teman-temannya. Yang lebih mengenaskan lagi, ternyata sayurnya sudah basi karena berbau asam dan agak berlendir. 

 

Alternatif selanjutnya adalah beli makanan di luar hotel. Kebetulan, hotel di tempat saya bekerja ini pas di depan jalan raya yang meskipun banyak turisnya, namun masih banyak pedagang kelilingnya semacam tukang bakso, gado-gado, siomay, tipat cantok, dan sebagainya. Kebetulan saya ini salah satu fans berat bakso, sehingga saya tidak keberatan mengganti makan siang saya hari itu dengan menu bakso. Suatu hari saat lobby sedang lenggang, si abang bakso lewat. Kebetulan, si Detha juga sedang ingin makan bakso, dan sayapun ditawari apakah mau nitip sekalian. Tanpa prasangka buruk, saya nitip satu porsi. Yang saya lupa, si Detha ini selera makannya pedas level dewa, dan tanpa ragu ia langsung saja memasukkan sambal sesuai seleranya ke setiap plastik bakso titipan teman-teman. Cerita berakhir tragis karena semua orang komplain "ini bakso apa racun" karena rasanya hanya pedas saja, semua orang langsung berwajah merah dengan keringat menetes deras, bibir jontor dan galon air di back officepun seketika tandas. Dan sayapun sukses menderita diare hingga dua hari berikutnya.

 

Dan saya kapok nitip bakso lagi ke Detha. Sungguh.

 

Sayangnya, baru-baru ini HRD menetapkan aturan baru yang menyatakan bahwa seluruh karyawan dilarang membeli makanan dari luar dan harus makan di hotel. Ini tragis. Dan sungguh kejam bagi kami semua.

 

Namun, kami tak kehabisan akal dengan aturan baru HRD.  Lokasi kami bekerja kebetulan sekali berseberangan dengan restoran tempat tamu biasa sarapan. Akal bulus kamipun berjalan. Kami mendekati staff-staff restaurant, pura-pura berpartisipasi clear up piring, cangkir kopi dan cuttleries di meja dekat lobby. Tujuannya jelas, saya dan teman-teman minta jatah sarapan juga dari restaurant. Aha!

 

Modus yang paling aman (dan paling sering kami lakukan) adalah mengendap-endap mengikuti staff kitchen atau staff restaurant yang mendorong troli ke area main kitchen. Sampai di tempat dimana intaian CCTV diluar jangkauan, maka terjadilah transaksi 'haram' tersebut. Staff kitchen akan memberikan sebungkus makanan (apa saja yang ada) yang telah dipersiapkan sebelumnya kepada kami. Dan kami bisa melenggang santai ke area back office dan makan hasil jarahan beramai-ramai.

 

Saya pribadi belum pernah melakukan transaksi ilegal ini, tapi sudah sering menikmati barang haram ini karena siapa juga yang bisa menolak aneka danish, croissant, pie, waffle, sosis hangat, dan nasi goreng seafood secara gratis? Salah satu rekan saya ada yang sudah menjadi pelanggan tetap. Iya, siapa lagi kalau bukan Detha.

 

Namanya juga makanan hasil 'nyolong', makanan apapun jenisnya dicampur begitu saja dan dibungkus dengan kertas minyak lalu ditumpuk asal dan diselipkan di bawah jas supaya tak terlihat kamera pengintai yang tersebar dimana-mana. Jadi melihat danish topping nasi goreng, croissant penyok, pie buah dengan percikan saus tomat, atau cupcakes berbungkus ham, sudah menjadi pemandangan sehari-hari.  Selain itu, kami juga kadang-kadang menebak-nebak sosis yang bentuknya sama namun bahan bakunya bisa saja berbeda, misalnya sosis ayam dan sosis babi. Supaya aman, kami yang muslim memilih tidak makan sosis daripada salah makan. Salah satu teman orang Bali berkata pada salah satu rekan saya, Sonny:

“Udah, makan saja. Kalau gak tau kan gak dosa.” Katanya sambil mengunyah bacon crispy.

“Gak, ah. Takut dosa.” Sonny menimpali.

“Kamu sekarang meski makan sosis halal tapi sosisnya hasil colongan dari restoran mah jatuhnya dosa juga kali, Son.”

Ah, betul juga ya?

 

Cerita lain dating dari Deaby, seorang trainee yang kebetulan sedang in charge bareng saya. Hari itu Detha membawa jarahan lumayan banyak, ada croissant, danish, cupcakes, waffle dan beberapa slice daging berwarna pink yang kesemuanya masih hangat. Setelah menyikat danish dan croissant, si Deaby lalu makan daging berwarna pink  tersebut.

"Bli Detha, ini apa ya?" Tanyanya polos.

"Udah, makan saja. Enak kan?" Jawab si Detha.

"Enak sih, tapi agak asin, ya?" tanya si deaby lagi.

"Ayam kan?" tanyanya lagi.

"Iyaaa.." Si Detha menjawab tanpa menoleh.

"Ayam kan ya? Kok rasanya lain ya?" 

Si Dethapun tidak merespon dan langsung meninggalkan Deaby yang sedang asyik mengunyah. Dan kebetulan saya masuk ke store dan memergoki Deaby sedang memegang daging pink itu, hendak memasukkan suapan entah untuk yang keberapa kalinya.

"Loh, Deb. Kok kamu makan babi?" tanya saya. 

Si Deaby lagsung syok. Terkejut.

"Katanya bli Detha ini ayam mbak?" Si Deaby masih terlihat syok.

“Itu Pork Ham, Debby!”

 

Photo Credit: Impulse Foods

Deaby langsung mengerut dan bersungut-sungut menuju konter concierge hendak melabrak Detha.

 

FYI, sebetulnya kegiatan menyelundupkan makanan ini sudah menjadi rahasia umum di hotel kami. Mungkin hamper semua orang sudah tau praktik ini, hanya saja tidak dilakukan secara terang-terangan karena memang dilarang oleh peraturan perusahaan. 

 


 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar