Jarkoni, Iso Ujar Ra Iso Nglakoni

By Anna - June 05, 2020

Pernah mendengar istilah Jarkoni? Jarkoni adalah sebuah kependekan dari “iso ujar (nanging) ra iso nglakoni”, dalam bahasa Jawa. Yang jika diartikan kurang lebih hanya bisa mengatakannya saja tapi tidak bisa menjalaninya. 

Dalam hidup, seringkali kita mendapatkan nasehat dan menasehati orang lain, seperti:
“Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Dendam itu tidak baik loh.”
“Maafkan saja, tidak usah membalas. Biar Tuhan yang balas.”
“Hubunganmu toxic, sebaiknya putus saja dan move on.”
Tapi, apakah nasehat-nasehat itu mampu membuat perubahan dalam diri orang lain? Sebagian mungkin iya, tapi kemungkinan besar tidak berubah. Berapa banyak buku dan pepatah motivasi yang sudah anda baca? Berapa banyak seminar motivasi yang telah anda ikuti? Berapa banyak perubahan yang telah terjadi pada diri anda? Nah, jangankan kita yang orang awam. Seorang motivatorpun bisa jadi tidak bisa memberikan perubahan apa-apa, karena memang sebetulnya perubahan itu harus datang dari diri sendiri. Para pelatih ini hanya memberikan alat, motivasi dan arahan, sedangkan perubahan tetap terletak pada individu masing-masing. 

Lantas bagaimana? Jangan jarkoni. Hanya katakan apa yang anda lakukan. 

Saya jadi teringat cerita tentang Mahatma Gandhi, yang menurut saya sesuai dengan topik ini.

Suatu hari ada seorang ibu membawa anaknya kepada Gandhi.
“Gandhi, tolong bantulah saya menasehti anak saya ini. Dia memiliki penyakit serius dan dokter mengharuskannya stop memakan makanan yang manis. Saya dan keluarga sudah menasehatinya, tetapi tidak ada perubahan apapun. Tolonglah, siapa tahu dia mau menuruti nasehat darimu.”

Gandhi yang bijak itu tersenyum dan dengan suara lembut berkata, “Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa. Silahkan Ibu pulang dan bawa anak Ibu kesini minggu depan.”
Ibu itu tentu saja kecewa, namun rupanya Ibu itu belum menyerah. 
“Gandhi, anak itu ada di depanmu sekarang, tidak bisakah engkau memberinya nasehat sekarang?” 
Gandhi hanya tersenyum dan menggeleng.

Ibu itupun menyerah. Meski perasaanya campur aduk, ibu itu pulang dan kembali tepat satu minggu setelahnya. 
“Gandhi, sudah satu minggu dan saya kembali seperti yang engkau minta. Sekarang tolong berikanlah nasehat itu.”

Gandhipun mendekati anak itu lalu menasehatinya untuk tidak memakan makanan yang manis. Hanya itu. Tidak kurang, dan tidak lebih. Sebuah nasehat sederhana, tidak ada yang baru, tidak ada yang istimewa.

Sang Ibu amatlah kecewa karena setelah penantiannya selama seminggu, ia berharap Gandhi akan melakukan suatu hal yang lebih daripada hanya kata-kata nasehat biasa. Si ibu pulang dan tidak berharap apa-apa. Mana mungkin ini akan berhasil? Pikirnya. Namun yang terjadi betul-betul di luar nalarnya. Sang anak mulai berhenti makan manis. Mulanya ia berpikir ini hanya kebetulan, tapi itu terjadi berhari-hari bahkan berminggu-minggu berikutnya.

Si ibu yang penasaran lalu kembali menghadap Gandhi dan langsung bertanya, “ Gandhi, rahasia apa yang engkau miliki sehingga anakku benar-benar bisa berhenti makan manis? Nasehat yang engkau berikan hanyalah nasehat biasa. Saya dan keluarga bahkan dokternyapun menasehatinya dengan cara yang sama, bahkan lebih baik. Tetapi mengapa anak saya hanya menurut pada nasehatmu?”
Gandhi tersenyum dan bertanya, “Ibu masih ingat pertama kali ibu kesini dan saya meminta Ibu datang seminggu kemudian?”
Si ibu menggeleng, “Saya juga masih penasaran. Kenapa memangnya?”
“Saat pertama kali ibu kesini, saya masih makan manis. Setelah Ibu pulang saya berhenti makan manis sampai kemudian ibu datang kembali seminggu kemudian. Baru saya bisa menasehati anak Ibu supaya berhenti makan manis.”
- - -
Saya juga teringat kisah saya sendiri menghadapi putri saya yang saat itu masih berusia 2 tahun. Saya kesulitan menyikat giginya karena ia fokus bermain air di keran yang mengalir, sedangkan ia harus nyengir atau membuka mulutnya supaya saya bisa menyikat bersih giginya. Berbagai cara sudah saya lakukan namun ia sulit sekali mengikuti perintah saya untuk membuka mulut atau nyengir (posisi ‘hi’). Saya mulai dari menutup keran air, tapi rupanya fokus berpindah dari air ke bayangannya sendiri di depan cermin. Cermin saya lepas, ia fokus memainkan jari jemarinya yang chubby. Memarahinya hanya akan membuat ia trauma dan tidak lagi mau menggosok giginya. Suatu hari tanpa sengaja saya menemukan cara yang cukup efektif untuk memintanya membuka mulut posisi “Aa” atau nyengir posisi “Ii”. Setelah saya menyuruhnya bilang “A”, saya juga membuka mulut saya posisi A sampai saya selesai menyikat bagian dalam. Begitu juga dengan posisi “Ii”. Saya nyengir posisi “ii” sembari menggosok gigi balita saya. 

Begitulah, jika ingin merubah orang lain, maka berubahlah dahulu. Sebelum menasehati orang lain, alangkah baiknya jika melakukannya terlebih dahulu. 

“Be the change that you want to see in the world.” Jadilah perubahan seperti yang ingin kau lihat. - Mahatma Gandhi

  • Share:

You Might Also Like

4 komentar

  1. Istilah jarkoni sering saya dengar dulu Kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai sekarang masih seting dipakai kok. Terimakasih sudah mampir 😊

      Delete
  2. Aku suka tulisan kakak:)

    ReplyDelete