Plus Minus Punya Pasangan WNA

By Anna - September 12, 2017

Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di blog. Saya kira saya bisa menyempatkan waktu menulis sambil momong anak, tapi ternyata susah sekali membagi waktu. Setiap hari saya disibukkan dengan kegiatan ala ibu rumah tangga; masak, mencuci baju, mencuci peralatan dapur, membersihkan rumah dan mengurus si kecil, yang ternyata never-ending task alias apa yang saya kerjakan seperti tak ada habisnya. Banyak yang menanyakan kelanjutan dari hotelicious dan sejujurnya saya tidak bisa berkata banyak selain wait and see. Pertama, sementara ini saya sedang cuti lama bekerja di hotel. Ingin... sekali kembali, namun setiap kali melihat wajah si kecil, saya jadi tak tega. Saya juga tak akan bisa konsen kerja jika di pikiran saya selalu khawatir bagaimana dengan si kecil di rumah yang harus diasuh nanny jika saya tinggal kerja. Kedua, saya benar-benar stuck dengan rutinitas dan sulit menyempatkan waktu untuk menulis kembali. Ketiga, seperti belum ada inspirasi mau menuliskan apa. Tapi saya rasa, itu semua hanyalah alasan saja. kurangnya motivasilah yang membuat saya malas menulis, saya rasa.

Ah, baiklah saya sudahi dulu acara ngeles yang tidak bermanfaat ini. Saya mungkin belum bisa menulis tentang hotel lagi dalam waktu dekat ini, namun ada banyak hal lain yang saya rasa bisa saya tuliskan. Bermula dari pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dilontarkan orang-orang mulai dari keluarga, sahabat hingga orang yang baru pertama kali ketemu, yaitu “Enak ya embaknya punya suami bule. Hehe!”. Biasanya kalau saya sedang dalam mood yang bagus, saya akan jawab properly bahwa punya partner bule itu tentu ada plus dan minusnya. Namun, kalau sedang malas jawab, saya hanya tersenyum sedikit lalu pura-pura sibuk bermain dengan anak saya supaya mereka tidak menyela dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang menurut saya tidak penting dan tidak bermanfaat buat mereka. 

For some people, saya rasa tidak penting sekali menjelaskan plus minus punya partner bule. Oh ya, bule di sini maksud saya warga negara asing ya, alias non WNI dan bukan semata-mata dari ras kaukasian saja. Namun bagi sebagian orang yang mungkin saat ini sedang ingin cari pacar bule, sedang mau menikah dengan orang bule, atau sedang mempertimbangkan memiliki hubungan dengan orang bule, mungkin coretan saya ini bisa memberi sedikit pencerahan.

Berdasarkan pengalaman pribadi, ada beberapa hal gak enak punya pasangan WNA.


1. Menjadi bahan gunjingan orang yang tak bertanggung jawab. Ini hal paling menyakitkan sebenarnya. Kebayang tidak, anda sedang berbelanja di supermarket bersama pasangan dan ada orang sebelah yang tanpa sungkan-sungkan ngomongin anda dan pasangan. Tak perlu lah saya jelaskan apa yang mereka omongin, karena gak ada enak-enaknya di dengar. Mulanya saya risih, namun lama-kelamaan saya jadi cuek dan pura-pura gak dengar. Syukurlah sejak adanya Ayumi, putri saya, yang selalu saya ajak kemana-mana bersama suami, omongan-omongan miring itu tak pernah lagi saya dengar.
By the way, kabar buruk bagi anda partner WNA yang senang berpakaian terbuka, atau yang bermake-up tebal, atau yang memiliki perbedaan mencolok dengan pasangan. Sebaiknya, tebalkan juga telinga anda dan jaga supaya kepala anda tetap dingin. 

2. Di cap tajir dan sebagai tempat mencari utangan. Ini juga tak kalah menyebalkan. I mean, saya tidak masalah jika memang keadaan saya memungkinkan, dan orang yang saya utangi mengembalikan on time sesuai janji. Tapi kenyataannya, yang saya dapat seringkali hanyalah, “come on, duit lu kan banyak. Kan punya laki bule!” ah sudahlah, yang begini ini saya paling males meladeni. Imbasnya, saya jadi takut minjemin duit ke orang. Niatnya menolong, but it ends up jadi musuh karena si peminjam ingkar janji, dan saya sakit hati.


3. Birokrasi yang rumit dan banyak. Siap-siap saja, soal birokrasi kepengurusan dokumen ini mulai dari persiapan menikah hingga punya anak, anda bakalan musti bolak-balik kantor imigrasi dan kedubes. Selain rumit dan banyak, juga harus persiapkan dana yang tidak sedikit. So, be prepared. Soal kepengurusan dokumen ini akan saya tulis di artikel selanjutnya.


4. Harga spesial buat bule. Kalau mau belanja di tempat yang barangnya tidak ada label harganya, maka bersiap-siaplah. Orang kita selalu menganggap bule itu tajir jadi mereka memberlakukan harga khusus untuk bule. Misal nih saya ke pasar beli kelapa parut, biasanya sebungkus harganya 4ribu, namun berhubung suami saya ikut menemani belanja (padahal sudah saya larang), harganya jadi 10ribu. Sadis, bukan? Ah, itu tidak seberapa. Bulan lalu ada orang jual bunga hias pakai mobil pick up. Saya kebetulan sedang di depan rumah dan ditawari. Kebetulan saya ingin menanam pandan, jadi saya tanya apakah mereka punya pandan? Mereka bilang pandan habis dan lain kali akan dibawakan. Beberapa hari kemudian mereka datang lagi bawa pandan, suami sedang di teras dan memanggil saya. Tanpa ba bi bu, mereka main tanam itu pandan di teras rumah dan memaksa saya bayar 350 ribu. Whattttt???? Di pasar seiket pandan begini cuma seribuan loh harganya. Saya dipalak. Saat itu anak saya terbangun jadi suami masuk ke rumah melihat si kecil. Di sekitar rumah tidak ada siapa-siapa, pak satpam pun tak ada jadi tak ada yang bisa saya mintai tolong. Sayapun takut karena mereka beringas seperti preman, jadi ya sudahlah terpaksa saya bayar, meskipun tidak ikhlas. Saya sempat menginformasikan hal ini ke group Whatsapp warga perumahan supaya berhati-hati dengan penjaual bunga ini. Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar,  pick up penjual bunga nyemplung ke kali. Komen warga, mereka kena karma karena malakin saya. Sejak saat itu mereka tak pernah lagi datang ke komplek perumahan kami.


5. Beda budaya dan kebiasaan. Namanya juga beda negara, pastilah memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda. Meskipun terdengar sederhana, namun percayalah, menyesuaikan adat dan budaya yang berbeda itu banyak tantangannya. Contoh paling gampang adalah soal makanan. Suami saya kebetulan seorang warga Jepang yang besar di Eropa, jadi kebiasaannya lebih ke western daripada Jepangnya. Karena suami kurang bisa makan makanan lokal, jadilah saya yang mengalah belajar memasak masakan Western dan Jepang. Saya masak 3 kali dengan banyak menu dalam sehari. Dua menu untuk sarapan buat suami dan balita, (saya tidak suka sarapan), siang dua menu untuk saya dan balita, dan malam tiga menu berbeda untuk kami bertiga. Saya makan ayam goreng lalapan, suami saya buatkan spaghetti meatball, dan menu balita untuk si bayi. Kalau di Jawa, kebanyakan orang hanya masak satu kali untuk dimakan dari pagi sampai malam. Saya tak bisa memaksa suami untuk menikmati pecel atau penyetan, dan suami saya juga tak mau memaksa saya untuk menyukai sandwich dan pasta.


6. Dikira tour guide, pembantu, dan baby sitter. Pas masih pacaran dulu, saya dan suami menyempatkan jalan-jalan dan sering kali saya ditanya orang, “Tamunya dari Jepang ya mbak?”. Pas sudah menikah, saya dan suami suatu hari belanja ke supermarket. Awalnya suami bersama saya mengantri check out di kasir, lalu tiba-tiba ia ingin ke toilet. Pas suami sudah ngacir, ada seorang emak-emak yang mengantri di belakang saya nyelutuk, “Jaman sekarang ini susah ya mbak, nemu boss yang baik gitu. Saya lihat misternya ramah sama embaknya”. Pas saya sudah punya anak, kebetulan anak saya chubby sehingga menarik perhatian orang. Seringkali saya tiba-tiba disamperin ibu-ibu dan mereka bilang, “Aduh... lucu sekali ya baby-nya...” Seneng dong saya. Eh si ibu melanjutkan, “ Ibunya dimana nih kok ga kelihatan?”. Jleb. Sudahlah.


7. Dikepoin orang. Ditanya ketemu dimana, bla bla bla. Sudah tak terhitung berapa kali pertanyaan yang sama terlontar, ironisnya tidak hanya teman yang ga seberapa akrab, bahkan orang yang baru pertama kali ketemu, seperti supir taxi, SPG, dll. Kalau mood saya sedang bagus, saya jawab sedikit. Kalau keponya masih berlanjut, saya bilang, “Kalau sudah jodoh, ga akan kemana.” Lalu pura-pura ngobrol sama suami, supaya mereka ga bisa nyela dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.


8. Dituduh murtad dan jadi WNA. “Loh? Suami kamu orang Jepang, ya? Waah... kamu jadi warga negara Jepang, dong?” atau... “Suami kamu agamanya apa? Kamu ikut agamanya suami dong, jadi Kristen? Eh, orang jepang agamanya apa ya? Itu yang menyembah matahari, kan?” Saya sudah kebal dengan pertanyaan seperti ini. Again, saya jawab tergantung mood saya saat itu. Jika mood sedang baik, maka saya jelaskan kalau suami saya muallaf, saya masih WNI dan dia masih WNA. Pindah kewarganegaraan itu urusan yang cukup kompleks, dan tidak semudah itu pindah. Kalau ditanya soal agama, sebenarnya saya paling malas meladeni. Daripada menanggapi, saya seringnya membelokkan percakapan ke hal lain yang saya rasa lebih enak dibicarakan.


Sebenarnya masih ada banyak minusnya, tapi tak apalah sementara beberapa poin ini saja yang saya jelaskan. Sisanya lain  kali akan saya update kembali jika waktu memungkinkan. Intinya, punya pasangan beda kewarganegaraan itu banyak tantangannya, terutama jika memutuskan tinggal di Indonesia. Tau sendiri kan, masyarakat kita masih memiliki budaya kepo yang kuat. Daripada protes atau berusaha menjelaskan, saya cenderung berusaha menghindar dan menguatkan diri supaya tidak terbawa emosi. 

Sekarang, mari membahas plusnya punya pasangan WNA. Pada dasarnya, punya pasangan WNI atau WNA sama saja. WNA jugalah manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Mereka bukanlah prince charming yang sempurna seperti yang ada dalam dongeng. Yang terpenting dalam membina suatu hubungan adalah komitmen untuk bisa memahami segala perbedaan yang ada,  menerima kekurangan satu sama lain, dan saling mendukung. Jodoh adalah rahasia Tuhan. Kita tak pernah tau, siapa yang akan menjadi jodoh kita kelak. Siapapun pasangan kita, syukurilah apa adanya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar