Ditolak Kerja

By Anna - January 10, 2015


Jauh sebelum saya bekerja sebagai front desk officer seperti sekarang, saya banyak mengalami fase-fase wajib sebelum seseorang memulai karir untuk pertama kali. Apalagi kalau bukan melamar kerja. Bicara masalah melamar pekerjaan, apalagi bagi yang pertama kalinya, tentu memiliki sensasi tersendiri. Antara khawatir, takut, gugup, dan perasaan-perasaan lain campur aduk jadi satu. Jangankan bagi yang pertama, yang sudah sering kali melamar kerja saja saat interview masih saja salah tingkah. Keluar keringat dinginlah, tiba-tiba mual-lah, mules lah… saya juga gak ngerti kenapa saya mules di saat genting seperti ini. Sepertinya perut saya ikutan nervous.

 

Perasaan-perasaan aneh saling bercampur baur yang pada akhirnya akan berujung di satu dari dua jawaban pasti : diterima atau ditolak?

 

Banyak yang dengan sinis ngomong gini ke saya,” Mbak sih enak. Ada rekomendasi sana-sini. Sudah banyak pengalaman. Bahasa Inggris lancar. Lah saya? Ah, pasti ditolak.”

Jujur saya sedih mendengar komentar seperti ini. Belum apa-apa kok sudah pesimis. Belum apa-apa kok sudah menyerah. Belum apa-apa kok bilang kalah. Kenapa sudah menyerah duluan sebelum bertanding?

 

Pertanyaan selanjutnya yang terlontar biasanya, “Kayak mbak ini pernah ditolak. Makanya bisa bilang begitu. Coba ditolak. Sama sakitnya dengan ditolak gebetan, mbak. Sakitnya gak sembuh tujuh hari. Rasa-rasanya pingin nyantet tuh HRD.”

 

Gak pernah ditolak gimana??!!! Pernah lah!

 

Penolakan pertama, waktu itu saya masih galau lulus sekolah mau kerja apa karena belum punya skill. Dengan anjuran beberapa teman, saya disarankan untuk melamar kerja ke Matahari department store yang bagi saya “something wow”saat itu. Lamaran masuk, dan selang beberapa hari saya mendapatkan panggilan interview. Di tempat kos, kebetulan beberapa teman ada yang bekerja sebagai SPG di Matahari sehingga mereka heboh mempersiapkan persiapan interview saya. Saya didadani menor sekali, katanya kalau mau jadi SPG di Matahari harus bisa dandan (harap dicatat,   saya waktu itu sama sekali belum kenal dengan kosmetik!).  Sebelum interview saya sempat diukur tinggi dan berat badan oleh salah satu security wanitanya, dan  proses interview  ternyata memakan waktu lumayan singkat. Saya tunggu dan tunggu, tak ada jawaban dari pihak Matahari. Saya ditolak! Dan saya sakit hati, terlebih ketika salah seorang teman megatakan kalau saya “tidak qualified” alias tidak memenuhi standart tinggi badan. Ya, menyedihkan memang, tinggi badan saya kurang 2cm dari tinggi badan standart yang mereka tetapkan.

 

Beruntung, salah seorang teman yang baik selalu membesarkan hati saya. Dia menyarankan untuk mencoba beberapa outlet lain dengan profesi yang kurang lebih sama: SPG. Saya masih ingat, saya melamar di butik Polo saat itu. Tapi lagi-lagi, saya didiskualifikasi dalam test pertama: tinggi badan!

 

Saya jadi frustasi dan minder. 

 

Yang paling membuat saya down saat itu adalah saat dimana saya lagi-lagi ditolak di salah satu hotel di Surabaya. Interview diadakan dua hari pas sebelum saya uji kompetensi. Karena sudah mengantongi sertifikat training dari Resort besar di Bali, saya sakin itu akan membantu. Interview berjalan lancar dan sejauh itu baik-baik saja. Yang menginterview saya tentu saja front office manager dari hotel tersebut. Surprise, saya bertemu orang yang sama dua hari kemudian dalam uji kompetensi. Ya, penguji saya adalah orang yang sama yang dua hari yang lalu menginterviu saya! Karena sudah bertemu sebelumnya, saya tidak terlalu canggung. Uji kompetensi berlangsung lancar, dan saya semakin yakin kemungkinan diterima lebih besar karena beliau juga tahu kemampuan akademis saya secara langsung melalui uji kompetensi.

 

Dua hari berlalu dan saya kembali harus kecewa. Saya ditolak! Saya masih bisa berbesar hati kalau misalnya alasannya karena mungkin saya belum cukup berpengalaman, lah ini saya ditolak karena tinggi saya lebih pendek 2cm dari kandidat terkuat! Sayapun depresi berat dan sejak saat itu saya paling sensitive dengan sesuatu yang berkaitan dengan tinggi badan.

 

Sayapun ngadu ke Tak yang saat itu masih LDR-an sama saya. Untungnya, Tak selalu membesarkan hati saya dan selalu keukeuh bilang kalau alasan tinggi badan itu hanyalah alasan yang dibuat-buat. Tak juga selalu mengingatkan bahwa jika ditolak, tak perlu dipikirkan terlalu serius. Mungkin saja bukan jodoh, atau it meant to be. Seperti yang sering dibilang orang-orang tua “Jodoh, mati, rezeki itu ada di tangan Tuhan.” Pasrah? Yang penting berusaha dulu, baru berserah.

Rupanya Tak benar. Tak lama setelahnya saya bekerja di hotel besar di Surabaya, yang notabene jauh lebih bagus dan berbintang lebih banyak dari hotel yang dulu menolak saya. Banyak hotel staff yang tinggi badannya lebih pendek dari saya, namun mereka hotel staff yang handal. Beberapa dari mereka banyak yang mendapatkan penghargaan, training di hotel chain di luar negeri, dan sebagainya. Saya jadi yakin bahwa tinggi badan – yang belakangan saya kategorikan sebagai appearance- bukanlah masalah, namun skill-lah yang dibutuhkan di dunia hotel yang sebenarnya. Appearance memang sangat penting, namun keahlian bagi saya berperan lebih penting. Kita ini kan penyedia service, yang artinya jual jasa, dan bukan jual tampang. Dari sana saya mendapat banyak kesempatan untuk berkembang, dan meniti karir pelan-pelan hingga sekarang. Alhamdulilah.

Mulanya saya pikir, hanya tinggi badan saya yang menjadi alasan untuk mengeliminasi seseorang. Ternyata, ada cerita dari salah satu trainee saya yang ditolak karena jerawatan! Ah… mirisnyaaa.. dan bisa dibanyangkan itu tuh sakitnya di sini *nunjuk jerawat di pipi.

 

Note:

Suatu sore saat saya dan Tak sedang berada di salah satu gerai Polo di mall di Bali, Tak iseng nyelutuk,”If you were accepted to work at Polo, maybe we wouldn’t have chance to meet and you would never work in the hotel like now.”

Saya sejenak terdiam dan diam-diam bersyukur dalam hati. Iya ya? Pertama kalinya saya bersyukur saya ditolak kerja.

 

 

Everything happen for a reason. Saya percaya itu. Tuhan mungkin sengaja tidak meluluskan saya di hotel itu untuk sebuah alasan yang saya tidak tahu. Ada sebuah kisah mengenai seorang guru yang bermimpi menjadi seorang astronot, yang belakangan membuat saya semakin mudah berlapang dada jika mengalami suatu hal yang tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Berikut kisahnya.

Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadi.

Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challenger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center.

Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobia, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini?

Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. Aku tidak terpilih. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam? Aku berpaling pada ayahku. Katanya, "Semua terjadi karena suatu alasan."

 

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challenger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challenger meledak, dan menewaskan semua penumpang.

 

Aku teringat kata-kata ayahku: "Semua terjadi karena suatu alasan." Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah. Aku seorang pemenang. Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.

Tuhan mengabulkan doa kita dengan 3 cara:

Apabila Tuhan mengatakan YA. Maka kita akan mendapatkan apa yang kita minta.

Apabila Tuhan mengatakan TIDAK. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.

Apabila Tuhan mengatakan TUNGGU. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai dengan kehendak-Nya. 

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Sweet ending story ann, destiny itu memang ada ya, beda beda juga tiap orang

    ReplyDelete
  2. tinggiku 155 cm...... kependekan ga yah? Aku fresh graduate non perhotelan (tp pernah jd tour guide 2 bulan) n mau ngelamar juga nih. Tapi ga pede :/

    ReplyDelete