Fully Booked Effect (bagian 1)

By Anna - July 12, 2013


Mimpi buruk setiap hotel staff adalah saat hotel fully booked atau kamar yang tersedia habis terjual. Loh, bukannya senang ya hotelnya ramai sehingga dompet di akhir bukan juga ngikut “rame?” Saya sebenarnya sih tidak ada masalah dengan fully booked asalkan didukung dengan sarana dan prasarana dan SDM yang memadai. Seringnya, saat fully booked apalagi sampai berhari-hari, teman-teman tumbang satu per satu karena sakit. Biasalah, management kan punya stok karyawan yang ngepres pres pres. Nah, yang yang ngepres itu saat fully booked tenaganya terforsir. Jika ada satu orang yang sakit, misalnya, yang lain akan meng-cover, sehingga yang seharusnya dikerjakan tiga orang, hanya dikerjakan dua orang. Extend sukarelapun tak terhindarkan karena mau tak mau, sebagai tanggung jawab terhadap pekerjaan, kami harus menyelesaikan tugas sampai benar-benar selesai meskipun jam kerja telah habis. Kadang-kadang, demi menutupi satu staff yang sakit, staff yang lain harus ‘dikorbankan’ shiftnya untuk kepentingan lancarnya operasional. Misalnya hari ini masuk sore pulang jam 11 malam, besok seharusnya masuk sore lagi jam 3, tapi karena shift pagi sakit, maka besok harus masuk pagi jam 6. Terbayang, Pulang kerja jam 11 malam itu belum termasuk extend sukarela-nya, belum termasuk persiapan hendak pulang seperti ganti baju, mengembalikan seragam ke uniform store, diperiksa di pos sekuriti, dan perjalanan pulang itu sendiri. Kalau rumah dekat sih enak. Kalau yang rumahnya jauh? Bisa-bisa jam 1 baru sampai rumah. Dan sampai rumah belum tentu langsung tidur, kan? Minimal butuh setengah jam untuk persiapan dan rebahan sebentar sampai betul-betul tertidur. Dan esoknya harus bangun paling telat jam 4.30 pagi supaya bisa incharge jam 6 pagi. Kalau staff ini schedulnya dibikin jumping tiga hari.. aja, saya jamin hari keempat yang absen ke hotel bukan orangnya tapi surat dokternya alias sick leave.

Sebagai seorang customer service, motto kerja saya adalah customer oriented. Bagi saya, rasanya senang bisa membuat tamu yang saya handle senang dengan pelayanan yang saya berikan. Berdasarkan pengalaman pribadi, sebagian besar tamu yang senang dengan layanan seorang staff, maka kalau mau minta apa-apa pasti maunya sama staff yang sama, tidak akan mau dilayani staff yang lain dan akan rela menunggu lama jika kebetulan staff tersebut sedang menghandle tamu lain. Memang sedikit repot, namun efek bagusnya biasanya tamu akan mengingat nama saya. Pas beli oleh-olehpun, saya ikutan dibelikan oleh-oleh, katanya sebagai ucapan terimakasih karena membuat liburannya memorable selama tinggal di hotel di tempat saya bekerja. Kadang-kadang, ada juga yang menyelipkan selembar dua lembar dolar, atau mata uang lain semacam Euro jika beruntung. Bonus tambahan kalau tamu tersebut menyebut nama saya di guest comment atau trip advisor *ngarep. Saya berusaha semampu saya memenuhi harapan mereka selama saya bisa, tapi seringnya saat fully booked, orientasi saya bukan lagi customer oriented tapi jadi time oriented karena banyak sekali tamu yang harus dihandle sedangkan tenaga kami sangat terbatas.
Dampak paling menyebalkan dari fully booked adalah saya musti extend lebih dari dua jam. Mau protes gimana, mau diam juga gimana. Gara-gara kelewat telat pulang, saya gagal bertemu teman lama dari Surabaya yang berkunjung ke Bali. Mau nyamperin kok dia tinggalnya di daerah Bedugul yang jarak tempuhnya paling cepat 2 jam dari Seminyak (belum termasuk kesasar), sekalinya ke daerah Kuta dan Seminyak dihari terakhir sambil jalan ke airport. Padahal kami sudah lama merencanakan main bareng sebentar di Kuta dan saya sama sekali tidak sempat bertemu karena kelamaan ngantor. Kabar buruknya, teman saya ini sekarang dipindah tugaskan di Papua sehingga kemungkinan  untuk bisa bertemu kembali lebih kecil *nangis darah.

Dampak lain yang membuat saya kadang-kadang bête adalah saya tidak bisa fokus dengan tamu yang sedang saya handle karena telepon selalu berdering. Di tempat kerja ini tidak ada staff khusus yang bertugas sebagai telepon operator, jadi telepon dari dalam dan luar hotel ya semua masuk ke receptionist. Suatu ketika saya sedang menghandle seorang Ibu-ibu dari Jakarta yang sedang check in, baru saja saja saya mau menerangkan mengenai room rate, telepon berbunyi.
“Jadi Ibu Kartika check in hari ini, dan tinggal bersama kami selama dua malam sampai tanggal 14 Juli. Untuk harga kamarnya…”
Tulilit-tulilit. Tulilit-tulilit..
Telepon sialan itu bunyi. Ada telepon dari luar.
Saya mengisyaratkan maaf ke tamu saya karena harus diinterupt oleh telepon. Si Ibu sih maklum…
“Good morning, Boutique hotel Seminyak, Anna speaking how may I assist you?”
Yang di seberang: “Bisa disambungkan ke accounting bagian purchasing?”
“Baik. Mohon tunggu. Terimakasih.” Seperti biasa, tanpa perlu berfikir  saya sambungkan ke bagian purchasing.
Saya mesam mesem sedikit ke Ibu Kartika yang sabar menunggu.
“Baik, Ibu Kartika, untuk harga kamar permalamnya sudah confirmed di dua juta lima…”
Tulilit-tulilit. Tulilit-tulilit…
Taelah itu telepon sialan bunyi lagi dan saya langsung hilang konsen. Mau dibiarin saya bisa budeg sendiri, kalo mau diangkat kok saya jadi gak enak dengan tamu saya. Tapi akhirnya saya pilih opsi kedua. Minta maaf lagi karena proses check in jadi tersendat.
“Good morning, Boutique hotel Seminyak, Anna speaking how may I assist you?”
Yang di seberang : “Bisa minta tolong disambungkan ke accounting bagian pembayaran?”
Ampun! Accounting lagi. Saya dengan sedikit dongkol menyambungkan telepon, lalu kembali ke tamu saya.
“Terimakasih sudah menunggu, Ibu Kartika. Saya lanjutkan sedikit ya.” Tamu saya ngangguk tapi mukanya jadi sedikit asem.
“Untuk kamarnya, sesuai dengan yang sudah Ibu pesan, Suite non smoking king size…
Tulilit-tulilit. Tulilit-tulilit…
Tobaaaatttt!!! Rasanya saya pingin banting saja itu telepon sialan di tempat. Kenapa juga sih bunyinya musti sekarang? Bentar lagi napa kalau tamu saya sudah pergi? Saya nangis dalam hati.
“Good morning, Boutique hotel Seminyak, Anna speaking how may I assist you?”
Yang diseberang: “Dari Bali segar cemerlang, Bu. Bisa minta tolong disambungkan ke accounting bagian receiving?”
Oh God! Mau segar kek, mau cemerlang, kek. Coba yang telepon itu ada di depan saya, pasti sudah saya ikat di kursi dan saya selotip mulutnya pakai lakban supaya gak gangguin saya.
Ketika saya mau balik lagi tamu saya, dengan muka asem se asem-asemnya, tamu saya dengan sadisnya malah bilang gini,
“Tunggu aja dulu mbak, yang nyari bagian pajak dan bagian penagihan belum nelpon.”
Arrrgggghhh….!!!!

Masih tentang telepon, saya sempat mengabadikan momen unik teman saya yang sedang handling telepon saat peak season (kondisi hotel paling ramai) dan hotel sedang overbooked, alias jumlah tamu yang booking kamar lebih banyak daripada jumlah kamar yang tersedia.  Seorang tamu yang telepon entah darimana, ngebet banget ingin booking padahal sejak awal teman saya, Erik, sudah menjelaskan bahwa hotel kami overbooked dan tidak ada kamar lagi. Tapi, si tamu tetap ngotot.
“Its oke, its oke, I can check in later in the evening time after your guest check out.”
“Sorry Maam, but we are overbooked at this moment. We don’t have any rooms available for you tonight.”
“But I believe you still have spare rooms available, right? It is Ok that you don’t have king size bed, you can give me your twin bed.”
Erik mulai pasang mimik nangis.
“Deeply sorry, Maam. Even our twin room is not available for tonight. We are..”
“No, no no. I believe you still have…”
Erik mulai guling-guling di lantai sambil tetap ngoceh menjelaskan bahwa kami memang benar-benar tidak punya kamar lagi.

Si tamu tetap ngeyel. Dan Erik sudah persis seperti kuda lumping kesurupan guling-guling di lantai sambil  pegang horn telepon  saking stressnya.



*)Ini bukan rekayasa

Gak nyangka kan, ada juga hotelier yang kaya begini.

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. ahahahaha lucuu *ngakak di jam1 pagi**

    http://ifyourmindwereauniverse.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. Wah... jangan2 pernah ngalamin juga nih?

    ReplyDelete