Terperangkap di Hotel

By Anna - March 19, 2012


Saya pertama kali ke hotel sekitar sebelas tahun yang lalu, saat seorang kenalan mengundang saya makan malam di sebuah hotel mewah di belantara kota metropolitan, Surabaya. Saya yang orang ndeso dibuat berdecak kagum dengan apa yang saya lihat di lobby dan restoran hotel berbintang saat itu, yang seumur-umur hanya bisa saya lihat di Televisi. Saya juga setengah mati iri dengan staf-stafnya yang kerjaannya hanya ngurusin satu meja saja. Saya berpikir, enak kali ya kerja di hotel?  Sampai tahun berikutnya Tuhan menjawab pertanyaan saya dengan mengirimkan seorang sponsor yang mau berbaik hati membantu saya mendapatkan pendidikan perhotelan. 

Singkatnya, semenjak itu saya tejun ke dunia hotel. Dan ternyata, dunia perhotelan itu dalam kenyataannya memang tak seindah yang selama ini saya bayangkan. Banyak hal baru yang dipelajari setiap harinya, mulai bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai karakternya, sampai standart operasional yang harus benar-benar dijaga dalam bekerja, belum lagi harus belajar mengontrol emosi dan berusaha tersenyum setulus-tulusnya di depan tamu padahal aslinya bête setengah mati mikirin hal lain di luar pekerjaan.

Sementara itu, di dalam hotel sendiri, selain belajar, saya juga mengalami hal-hal konyol tak terduga yang mewarnai hari-hari saya dalam bekerja. Hal konyol tak hanya terjadi karena kekacauan di luar standart, tapi juga ternyata ‘tercipta’ dari kawan-kawan saya sesama staff dan tamu hotel itu sendiri. Bekerja di hotel tidak selamanya menyenangkan, tapi buat saya yang penting adalah mensyukurinya. Saya bersyukur hidup saya menjadi berwarna karena setiap hari selalu berbeda. Saya bersyukur bertemu tamu-tamu yang baik dan tidak banyak maunya, syukur-syukur kalau mereka tipe-tipe big tipper. Sebaliknya, saya juga bersyukur bertemu dengan tamu aneh, pelit dan konyol, karena kekonyolan itu akhirnya bisa menjadi cerita yang saya tulis di jurnal harian saya. Kadang, saya juga bersyukur bertemu dengan tamu yang sulit dan tukang komplain karena saya juga belajar banyak hal darinya. Bagaimana mencari solusi atas setiap masalah operasional yang timbul, belajar bernegosisasi jika tamu kecewa dan meminta uangnya kembali, serta belajar sabar karena meski semua masalah itu bukan salah saya, namun saya berada di garda terdepan dan menjadi pelampiasan kekecewaan. Intinya, sekonyol apapun hal yang terjadi di sekitar saya, selelah apapun saya bekerja mengurusi tamu yang beraneka rupa, sesial apapun kejadian yang menimpa saya dari hari ke hari,  sebenarnya saya amat mencintai pekerjaan saya, dan tetap bangga bisa menjadi bagian dari keluarga besar property dimana saya bekerja. Yes, I do love my Job so much!
  
About Hotel

I'm not going to talk about the definition of the hotel itself or the history of the hotel here. Yang saya maksud about Hotel di sini lebih ke pandangan saya dan juga pandangan menurut orang lain terhadap hotel. Karena tidak semua orang beranggapan sama mengenai hotel. Contohnya di kampung kelahiran saya, ibu saya terpaksa berbohong kepada tetangga yang 'iseng' tanya-tanya apa pekerjaan saya. Setiap kali ibu saya ditanya begitu, pasti beliau akan menjawab, "anakku kerja di pabrik garem". Mengapa? karena kalau Ibu saya bilang saya kerja di hotel, habislah ibu saya diceramahi tetangga karena mereka mengira orang yang kerja di hotel itu perempuan tidak bener. Maksudnya, disamakan dengan hotel melati tempat kegiatan prostitusi.

Teman satu kosan saya yang juga teman sekampus waktu kuliah perhotelan berbeda lagi pendapatnya mengenai hotel. Katanya, kerja di hotel itu seperti babu bersertifikat. Saya pribadi diam-diam setuju dengan pendapatnya. Seorang hotelier yang berkualitas memiliki pendidikan formal sebagai dasar pengetahuan, dan harus pula memiliki pengalaman praktek yang memadai. Kalau dilihat dari segi edukasi, memang terlihat lumayan, apalagi sekarang pendidikan formal perhotelan dan pariwisata yang menawarkan program strata satu sampai lanjutan dan sudah menjamur dimana-mana. Ironisnya, kalau sudah terjun di hotel ya, siap-siap jadi babu. Karena apapun jabatannya di hotel, pada dasarnya semua tugasnya sama, yaitu melayani tamu. Semakin bagus pelayanan yang diberikan sebuah hotel, semakin bagus pula kualitasnya dan artinya semakin mahal pula tarif kamarnya. Kalau dirumuskan ke dalam teori teman saya, semakin berkualitas babunya, semakin mahal hotelnya. Hm.. justru pendapat saya pribadi, hotel yang bagus akan menawarkan kualitas pelayanan yang bagus pula. Dan karena itulah bagus pula harga yang ditawarkannya.

Teman saya yang maniak artis, dibela-belain sengsara jadi daily worker di hotel (padahal dia sarjana hukum!) demi bisa bertemu dengan idolanya secara langsung dari dekat. Meskipun tidak bisa teriak-teriak minta tanda tangan dan foto-foto seperti penggemar lainnya, dia sudah cukup puas bertatap muka langsung dan melihat idolanya tersenyum. Saya hargai usahanya yang aneh, tapi memang kalau dipikir-pikir ketemu langsung memang susah, nonton konsernya juga harus rela berdesak-desakan, belum lagi resiko kecopetan dan terjatuh karena pingsan. Itupun bisa lihat langsung tapi hanya bisa melongo dari jarak jauh, mau foto juga hasilnya pasti ngeblur karena kamera dipaksa nge-zoom berkali lipat. Kalau ‘nyamar’ jadi housekeeping hotel kan, bisa aja cari-cari kesempatan supaya bisa ketemu langsung meski hanya sebentar. Hotel buat dia adalah tempat paling possible buat ketemu artis meski untuk itu dia harus mengorbankan diri menjadi daily worker karena gak kuat pakai cara borju nginep di hotel, jadi tamu beneran dan mengejar artis.

Teman saya yang orang pabrik, lain lagi persepsinya terhadap hotel. Dia yang masih 'lugu', taunya orang yang kerja di hotel itu enak, pakaian rapi, dan gajinya tinggi. Padahal yang sebenarnya, kerja di hotel itu ada beberapa bagian, tidak semuanya enak, tidak semuanya rapi-rapi, ganteng dan cantik dan tidak semuanya bergaji tinggi. Karena di hotel banyak sekali pekerja harian yang cuma diupah dari 70 sampai 90 ribu per hari selama 9 jam. Itupun kerjanya ampun lumayan berat bagi saya. Selama 9 jam itu, jika di posisi banquet maka pekerjaannya mulai dari set up meja, menata kursi, mengantar makanan dengan tray, clear up piring yang kosong, lalu membereskan venue saat acara selesai. Seorang gardener atau engineering yang daily worker, juga tak kalah beratnya menurut saya. Gardener memang terdengar keren, padahal aslinya ya tukang kebun. Di resort besar apalagi yang memiliki pantai, salah satu tugas gardener juga membersihkan pantai. Sedangkan Engineering, kadang-kadang mereka juga harus mengerjakan yang menurut saya tak ada bedanya dengan tukang bangunan. Mereka juga mengaduk semen, memperbaiki tembok, tak jarang juga masuk got untuk membersihkan saluran pembuangan air yang macet. 

Teman saya yang lainnya lagi beranggapan, bahwa kalau mau kerja di hotel itu harus berijazah sarjana, atau minimal diploma perhotelan atau pariwisata. "Kalau cuma SMK sih, gak bakalan laku," katanya. Saya kira itu persepsi yang SALAH! Karena banyak teman- teman saya yang sukses meniti karir di hotel malahan bukan Sarjana. Contohnya, Health Club Manager saya yang sekarang ijazahnya cuma SMA. Dia meniti karir bener-bener dari nol. Awal kerja cuman jadi therapys. Contoh lagi, Butler manager saya juga seorang perempuan yang bagi saya tegas sekali, usia baru 32 tahun, ijazah cuman SMA dan beliau meniti karirnya dari door girl! Bayangin deh, dari seorang door girl/ greeter menuju butler manager.

Sayapun berpendapat sama dengan salah satu motto sekolah perhotelan di Surabaya, bahwa untuk bisa kerja di hotel itu tak perlu gelar, tapi ketrampilan. Percaya deh, itu berlaku buat semua orang. Tinggal kemauan untuk belajarnya itu ada atau tidak.

Bagi saya, dengan bekerja di hotel artinya saya tak pernah berhenti untuk belajar. Seorang hotelier yang peka bisa meraba situasi yang berubah-ubah setiap harinya, karena mau tidak mau, hotelier selalu berhubungan dengan tamu, yang notabene dinamis dan karakternya yang bervariasi. Sejujurnya, saya bukanlah seorang hotelier senior yang memiliki puluhan tahun pengalaman bekerja di hotel. Saya juga bukannya mau cerita mengenai do’s and don’ts menjadi seorang hotelier yang baik. Saya loh masih newbie dan ‘bendera’ hotel saya juga belum banyak. Yang saya mau paparkan di sini lebih ke pengalaman pribadi saya, yang literally sebagai pekerja hotel yang doyan curhat. Karena setiap harinya, sebagai seorang hotelier yang memang belum berpengalaman, kejadian demi kejadian seperti tersetting mewarnai kehidupan saya.

Jadi kesimpulannya,
buat anda yang doyan ke hotel, sadarlah bahwa hotelier itu juga manusia. Mereka sebetulnya bisa saja marah atau bahagia, tapi demi profesionalitas, semua tamu harus kami layani dengan setara. 
Buat anda yang tidak pernah ke hotel, ketahuilah bahwa tak semua hotel itu menjadi tempat prostitusi. 
Buat anda yang sudah duluan kerja di hotel, bersyukurlah karena jadi hotelier itu bisa ketemu artis. Loh?

Hmmm… Siapa berani jadi the next hotelier?

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. wow...anda hebat bgt menatap hidup ini...hehe

    ReplyDelete
  2. Tirta: banyak belajar dari Pak Dahlan Sist, bahwa hidup ini harus dijalani apa adanya. hehehehe...

    ReplyDelete