Sang Pemabok

By Anna - March 18, 2012


Yang saya maksud di sini bukannya mabok minuman atau mabok judi apalagi mabok janda *maksud loh? Tapi mabok darat, perasaan tidak menyenangkan yang tiba-tiba timbul karena naik kendaraan darat, seperti mobil, kereta atau bus.

Saya baru tahu kalau saya seorang pemabok pertama kali saat saya masih lima tahun dan duduk di bangku taman kanak-kanak. Saat piknik bersama naik bus, saya muntah sepanjang perjalanan sehingga saya tidak bisa menikmati piknik saya sama sekali kala itu. Mulanya rasa pikir mabok itu akan hilang setelah saya beranjak dewasa, tapi ternyata penyakit satu itu sudah bawaan orok, alias tidak bisa hilang dengan instant. Saat SMP dan berani jalan sendirian naik bus ke Surabaya, tas saya penuh saya jejali dengan aneka perlengkapan anti mabok seperti antimo, antangin, sampai koyo salonpas (yang konon harus ditempel di pusar supaya tidak mabok).  Manjurkah? Mungkin ya buat orang tertentu, tapi tidak buat saya. Mengkonsumsi obat anti mabok sesaat sebelum berkendara tidak bisa mengusir rasa mual dan pusing yang selalu melanda ketika saya harus naik bus, entah itu yang AC ataupun yang non AC. Pernah saya jackpot di halte bus, mabok duluan bahkan sebelum saya naik busnya, hanya karena saya membaui aroma knalpot bus umum yang luar biasa pekatnya. Belum lagi kalau harus naik bus yang lelet, alias jalannya merayap, atau yang doyan ngetem. Rasanya benar-benar tersiksa, badan saya tiba-tiba jadi lemas tak berdaya, perut mual tak menyenangkan, kepala pening luar biasa, dan mulut kering tapi terus-terusan mengeluarkan lendir yang aneh. Apalagi kalau supirnya nyetir pakai atraksi—gas rem gas rem--, rasanya semakin lengkaplah penderitaan saya.

Saya kira penderitaan mabok naik bus itu karena saya kurang terbiasa. Ternyata setelah tinggal selama setahun di Surabaya dan hampir setiap hari naik bus, saya tetap pusing dan mual (meski belum sempat jackpot karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh). Anehnya, saya tidak pernah mabuk kalau naik bis malam apalagi yang ada labelnya ‘Sumber Kencono’ (belakangan saya tahu bahwa bus ini berganti nama menjadi ‘Sumber Selamat’—karena seringnya diplesetkan masyarakat menjadi ‘Sumber Bencono’-- dan beberapa armada baru dinamai ‘Sugeng Rahayu’). Bus ekonomi jurusan Surabaya-Jogja ini memang dikenal sebagai bus maut karena rekor catatan kecelakaannya yang menewaskan puluhan orang setiap tahunnya. Hiiii…. Tapi buat saya pribadi naik bis ini (apalagi malam hari) bisa mempersingkat waktu perjalanan, yang berarti meminimalisasikan kesempatan saya untuk mabuk. Syaratnya, kalau naik bis ini meskipun tengah malam tidak mengantuk, tapi mata harus saya pejamkan. Kalaupun terbuka, artinya harus banyak-banyak berdoa saking ngerinya (apalagi kalau duduk di kursi depan). Naik bis ini buat saya seperti naik roller coaster, bikin sport jantung! Bagaimana tidak, bis yang melaju dengan kecepatan sekitar 100 km/jam ini nyantai saja nyalip truk di depannya padahal dari arah berlawanan jelas-jelas sedang melaju bus lain dengan kecepatan tinggi pula! Kalaupun gagal nyalip, moncong bis yang mepeeet banget dengan pantat truk (mungkin sekitar sejengkal tangan saya jaraknya) makin membuat saya dan penumpang lainnya senewen. Lah, kalau tiba-tiba truk di depan ngerem, apa gak nyundul tuh bisnya? Belum lagi kalau harus berbelok, biarpun atap bis sudah menerjang ranting-ranting pohon pembatas tepi jalan, si sopir dengan cueknya tetap melajukan busnya dengan kecepatan tinggi. Dan beberapa penumpangpun sampai terguling dari kursinya saking miringnya posisi bis belokan. Busyet! Meskipun deg-degan sepanjang perjalanan, tapi saya masih setia memakai bis ini kalau harus pulang ke kampung halaman saya. Kalau siang hari saya berangkat dari rumah ke Surabaya makan waktu sekitar 3,5-4 jam, sedangkan kalau malam hanya perlu 1,5 jam saja. Silahkan membayangkan ngebutnya kaya apa.

Selama di hotel dan masih in charge di Concierge section, saya kebagian tugas yang mostly ngurusin administrasi. Di bawah naungan ‘buku’ saya, ada mas- mas valet dan bapak-bapak driver. Concierge yang notabene jualannya cuman mobil hotel, mau tidak mau, saya sebagai seksi administrasi ya cuman ngurusin seputar mobil hotel. Saya dengan sotoynya ngurusin bookingan, ngatur schedule buat driver yang in charge, buat laporan revenue setiap harinya, me-record pengeluaran untuk fuel, sampai pengurusan PO (purchase order) untuk penggantian oli dan service rutin mobil-mobil hotel. Orang-orang mengira, saya tahu banyak tentang mobil, bahkan ada yang percaya kalau saya bisa nyetir. Padahal aslinya, jangankan nyetir, naik mobil hotel –merk Innova—saja saya mabok! Taunya, pas suatu hari saya setengah dipaksa untuk ikut bersama rekan-rekan concierge yang mengunjungi salah seorang rekan yang baru saja operasi di Rumah sakit daerah Surabaya bagian timur. Baru saja saya naik mobil, bau dari parfum mobil yang bercampur dengan sofa mobil yang bau matahari (karena mobil barusan ‘dijemur’ di lapangan parkir depan lobby yang panas) langsung menyeruak dan seketika membuat saya pusing. Macetnya lalu lintas menuju rumah sakit malah semakin meperburuk keadaan. Tidak menunggu lama, jackpotlah saya di dalam mobil! Teman-teman sampai panic. Ini judulnya kami mengunjungi rekan yang sakit, tapi teman-teman saya malah sibuk ngurusin saya yang ‘sakit’.

Mobil Innova kedua yang saya jackpot-i milik teman Jepang saya. Kebetulan suatu hari saya diajak mengunjungi salah satu pabrik pengemasan ikan teri miliknya di daerah Nguling, perbatasan antara kota Pasuruan dengan kabupaten Probolinggo. Saya yang awalnya ceria diajak ngobrol ngalor ngidul sambil jalan. Lambat laun, kepala saya seperti biasa mulai pening dan perut saya mulai mual. Dan seperti biasa, gak pakai lama saya sukses Jackpot bahkan sebelum kami sampai Nguling!

Tahun 2010, saya dapat hadiah dari ayah saya menginap di salah satu resort mewah di Bali. Di emailnya ayah saya bilang, beliau memesankan limousine untuk penjemputan dari airport. Mulanya saya kira limousine itu sejenis mobil panjang seperti di film Pretty woman, taunya ternyata ‘hanya’ mobil mercedez biasa. Kerennya, mercedez ini yang type E class, jadi seharusnya nyaman dan mewah. Sialnya, pesawat saya jadwal terbangnya maju satu jam dari yang seharusnya, sehingga sayapun kaya orang bego nunggu mercy jemputan saya selama satu jam di airport. Sekalinya naik dan belum juga ada 15 menit jalan, lagi-lagi saya sudah huek-huek mau jackpot (untungnya saya belum sempat Jackpot di mobil). Padahal mobil ini ampun kerennya, tapi kok ya tetep saja orang ndeso seperti saya ini mabok. Dasar resort bintang lima ini pelayanannnya luar biasa keren, keterlambatan jemputan saya (yang notabene bukan salahnya hotel) direcovery dengan transfer ke Ubud gratis (pakai mercy lagi!) dan selama saya tinggal saya dikasi sekeranjang buah setiap harinya karena dikira saya sedang sakit karena hoek-hoek di mercy!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar