It's All About My Boarding House

By Anna - July 28, 2011

Sebagai orang rantau, mencari tempat tinggal semacam kos-kosan atau rumah kontrakan adalah salah satu bagian yang bagi saya paling merepotkan.

Setelah 6 tahun tinggal di Surabaya dan sedikit banyak mengenal lika likunya, saya tidak juga mengerti dan paham betapa sulitnya mencari tempat kos seperti yang saya mau. Sewaktu kuliah, tempat kos saya terletak dekat sekali dari kampus, tinggal 5 menit jalan kaki dan sampai. Seorang teman baik saya-lah yang telah berjasa mencarikan kosan yang bagi saya cozy itu. Tempatnya bersih dan nyaman, furniturnya lengkap, tempat tidur lengkap dengan sprei yang bersih, ada kipas anginnya juga. Ruang tamu ada di depan kamar saya memanjang hingga kamar sebelah, meski hanya 4 kursi dan 2 meja, tapi lumayan buat ngerumpi sesama anak kos (yang saat itu memang tak ada kerjaan). Di depan kamar nomor 2, ada lahan untuk jemuran yang lumayan luas dan tempat cuci yang juga luas. Seringkali saat hujan, saya dan teman2 main hujan – hujanan di situ saking luasnya.

Toiletnya meskipun hanya 1 tapi cukup lah buat penghuni yang cuma 4-6 orang. Sebenarnya jumlah kamar di kosan ini 6 kamar, tapi sayangnya tak pernah penuh.  Kamar kos terletak di blok yang terpisah dari rumah induk, tapi kamar- kamar tersebut terisolasi oleh pintu tengah yang dikunci setap jam 9 malam. Dan itulah yang paling saya (dan anggota kosan lain) paling benci. Sebagai ABG labil yang katanya masih mencari jati diri, peraturan kos yang lumayan ketat kadang membuat kami gerah. Yah… di kota metropolis ini kok ya masih ada kosan yang peraturannya seperti di asrama militer. selain larangan pulang malam (jam 9 sih buat saya masih sore), peraturan – peraturan lain yang tidak kalah menjengkelkan pun sering kali membuat saya tidak betah di kosan, seperti dilarang membawa teman baik laki – laki maupun perempuan ke area kosan, dilarang membawa teman menginap, dilarang membawa sepeda motor (atau bakalan dikenakan charge 75ribu/bulan), dilarang membawa barang – barang elektronik kecuali mau dikenakan charge tambahan, harus melepas alas kaki di area kosan (atanya sih untuk menjaga kebersihan tapi belakangan anak kos tahu itu cuma akal – akalan mbak Pah yang tukang bersih – bersih supaya kerjaannya tidak bertambah berat), dilarang buang sampah sembarangan, dilarang masak dan membawa kompor meskipun yang portable (masih dengan alasan yang sama, demi kebersihan)—padahal sebagai mahasiswi perhotelan kan di kampus kami diajarin masak dan mestinya harus dipraktekkan juga sesampainya di kos-- , dan masih banyak lagi peraturan –peraturan lain yang membuat kami semakin gerah. Lucunya, peraturan – peraturan yang telah dibuat oleh ibu kos yang killer itu ditempel di dinding ruang tamu kos- kosan. Jadilah ruang tamu kami sedemikian indahnya, karena setiap kali salah satu dari kami melakukan tindakan yang menurut ibu kos tidak baik, maka hari selanjutnya sudah bisa dipastikan akan ada peraturan baru yang telah tertempel dengan rapi di kosan kami tercinta. Meskipun ketat dan super rese, tapi setidaknya kosan yang satu ini nyaman dan kondusif untuk belajar. Saya sampai betah 2 tahun tinggal di sana.



*)teman kos, Vio and Prisi yang lagi nyuci sambil hujan2 di kosan ala asrama militer


*)kamar saya korban narsis!

Well, setelah kosan ala asrama militer itu, tibalah saat saya harus OJT (On the Job Training) di Bali. Dan selama ojt yang waktunya kurang lebih 6 bulan (plus 2 minggu buat adaptasi), saya pun memutuskan tinggal di sebuah kos kosan di jalan Dharmawangsa (padahal saya ojt di Nusa Dua Resort Area).

Pertama datang, bener2 saya surprise karena kamar kosannya bener- bener kosong melompong tidak ada apa – apanya sama sekali. Seharga Rp. 200,000 lebih mahal dari pada kosan militer, kosan di Bali ini lebih luas tapi kondisinya tak lebih bagus; tidak ada tempat cuci yang luas, dan tidak ada ruang tamunya. Tapi punya kamar mandi dalam dan ada dapur di ujung koridornya. Ibu kosnya sangat ramah dan welcome, bapak kosnya kebetulan bekerja di Resort yang sama dimana saya training, dan anak – anak mereka juga gampang bergaul dan cepat akrab dengan orang baru. As far, saya sangat suka dengan lingkungan baru kosan saya.

Meski tempatnya agak terpencil jauh dari pusat keramaian, tapi justru dengan bergaul dengan orang lokal (bapak ibu kos dan anak-anaknya) saya jadi tahu berbagai tempat bagus non turis yang menarik. Warnet ada tepat di sebelah rumah, yang meskipun tarifnya mahal (jika dibandingkan dengan warnet rata-rata di Jawa), tapi seringkali saya mendapatkan free access dari wifi yang iseng – iseng saya jebol juga dari warnet yang sama (Pssssttt!!! Yang ini rahasia loh ya!!). Kecuali dengan perabotan yang mau tidak mau harus membeli sendiri, saya jadi merasa lebih mendiri karena harus mendekor kamar saya seperti yang saya mau. Saya yang dulunya paling malas memasak, selama di Bali (terpaksa) harus punya skill memasak karena saya tidak suka masakan Bali kecuali nasi jenggo (lihat post sebelumnya). Tiga hal yang menurut saya paling mengganggu hanyalah mengenai bau, tetangga, dan keamanan.

Pertama, mengenai bau. You know lah, di Bali tidak ada bangunan tinggi melebihi pohon kelapa. But, kosan tempat saya tinggal ini berlantai 3. Yeah, sepintas sih mungkin cuma terlihat berlantai 2, tapi ternyata yang 1 lantai lagi ada di bawah tanah. Letak bangunan yang di atas bukit  memungkinkan untuk dibangun sebuah ruangan vertical yang tidak terlihat dari jalan raya. Dan di situlah saya tinggal! Celakanya, tiap kamar yang ada di atas dilengkapi juga dengan toilet. Dan saya sampai sekarang pun masih tidak mengerti kenapa tiba – tiba membaui aroma toilet setiap minimal dua kali sehari. Meski tidak lama, bau cukup mengganggu. Saya pernah complain masalah ini ke ibu kos dan sudah di follow up, tapi tidak ditemukan kebocoran apapun di pipa yang mengubungkan “saluran pembuangan” di tiap lantai. Ya elah…

Kedua, tetangga. Yep, meski sama – sama orang Jawa (dia berasal dari Banyuwangi), bukan berarti kami punya paham yang sama. Meski saya orangnya gak bersih – bersih amat, tapi at least saya tidak bisa tidak risih kalau melihat hal yang kotor. Misalnya, dapur bersama yang ada di koridor cukup luas dan saya menempatkan kompor saya (dan beberapa peralatan masak juga tentunya) di sana. Saat saya hendak memasak atau sekedar mau cuci piring, ya oloh itu dapur sudah berantakan kemana – mana dan peralatan saya pun sebagian dipakai juga dan dibiarkan tergeletak setelah dipakai. Sampahnya juga masih tercecer seantero dapur, gitu. Mau marah kok rasanya tidak etis, ngomel sendiri apalagi. Kebetulan ibu kos saya ini orangnya cintaaa sekali sama kebersihan. Dan sayapun terbantu sekali karena ibu kos-lah yang berjasa membersihkan dapur yang bujubuset ancurnya setelah dipakai masak sama mbak – mbak Banyuwangi itu.

Soal keamanan, Bali jangan ditanya. Buat saya nih, Bali jauuuh..lebih aman daripada di Jawa bagian manapun.  Saya melihat motor diparkir di pinggir jalan sekalian sama kuncinya di Siligita dan baik – baik saja alias tidak ada yang nyolong. Kalo di Jawa? Udah dikunci rapat plus pakai alarm saja masih dibobol, loh. Kos- kosan saya juga kalau malam seringan tidak dikunci pagar halamannya, tapi ya motor fine-fine saja di situ.

Keamanan yang bagus bukan berarti tanpa danya ke-rese-an, lohh… Saat akan keluar dari pelabuhan Gilimanuk, misalnya, semua penumpang wajib menunjukkan ktp. Yang bawa motor atau mobil biasanya juga diminta menunjukkan STNK dan SIM segala. Coba deh menyeberang dari tanjung perak Surabaya ke Madura. Gak ada tuh ceritanya pakai acara menunjukkan ktp segala. Sebaliknya kalau mau pulang ke Jawa, dari Gilimanuk ke Ketapang, juga tidak ada acara menunjukkan KTP ke petugas.

Yang paling rese menurut saya adalah mengenai KIPeM (Kartu Identitas Penduduk Musiman). Suatu hari, jam 5.30 pagi saat saya masih enak-enaknya tidur, ada beberapa petugas dari kelurahan dan beberapa petugas berpakaian tentara menggedor-gedor pintu kamar saya. Saya yang masih setengah mengantuk mengumpulkan nyawa langsung dimintai KTP dan kipem. Ktp sih saya punya. Tapi Kipem? Lah saya kan baru seminggu tinggal, belum sempat lah ngurusin kipem. Sayapun ditodong Rp.200,000 saat itu untuk kipem dan ktp saya di sita. Celakanya, setelah kipem jadi, saya lihat kok ya masa berlakunya hanya 3 bulan. Lah berarti saya kan harus membayar lagi kalau kipem saya habis. Ampun deh ah! Saya kira, urusan kipem Cuma berlaku untuk pendatang, ternyata bapak kos saya pun juga digedor-gedor diminta menujukkan KTP di pagi buta. Nah Lho? 


*)furnitur pertama yang saya beli di Bali


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar